Oleh : Nurul Hikmah, S.Pd
(Pegiat Literasi Muslim)
Benarkah penarikan pajak kepada masyarakat merupakan solusi untuk permasalahan ekonomi ?
Pemerintah mengklaim dengan menciptakan bracket baru, maka mereka bisa memberikan image keberpihakan kepada masyarakat berpendapatan rendah. Adapun masyarakat yang memiliki pendapatan lebih besar akan membayar iuran lebih tinggi. Namun di balik semua narasi di atas, penetapan pajak bagi penghasilan di atas 5 juta rupiah nyatanya merupakan salah satu cara untuk menaikkan pendapatan negara.
Sebagaimana yang disampaikan dalam pemberitaan, ”Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun untuk tahun 2023. Berbagai strategi dan kebijakan di susun untuk merespon sejumlah ancaman dan tantangan global tahun depan yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak.” (CNBC Indonesia, 02/12/2022)
Minggu (01/01/2023), pemerintah menetapkan ketentuan baru terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Dalam PP tersebut, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak.
Artinya, setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak. Namun untuk warga negara asing yang memiliki keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan, maka dikecualikan dari pengenaan PPh. Seperti yang diketahui, PPh di Indonesia telah mengalami perubahan sejak adanya UU HPP pada 1 Januari 2022. (Kontan.co.id, 01/01/2023)
Sungguh sangat sulit untuk dipahami dan seolah tidak ridho ketika masyarakatnya mendapkan gaji besar sehingga harus dikenai pajak. Meskipun pajaknya hanya 5% saja atau 30 ribu perbulan itu tetap saja membebani masyarakat menengah ke bawah di tengah kebutuhan ekonomi yang semakin mahal.
“Direktur penyuluhan, pelayanan dan hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor mengatakan terdapat 4 kebijakan utama yang akan dilakukan pemerintah tahun depan untuk mencapai target penerimaan pajak. Pertama, optimalisasi perluasan basis pemajakan melalui tindak lanjut program pengungkapan sukarela dan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ia mencatat, saat ini proses NIK yang sudah diintegrasikan dengan NPWP sebanyak 75%” (CNBC Indonesia, 02/12/2022)
Ketentuan di atas menandakan bahwa setiap masyarat sudah di kenakan pajak tanpa mempedulikan lagi, apakah orang tersebut berkecukupan dalam perekenomiannya atau tidak.
Kedua, penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan. Dilakukan melalui implementasi penyusunan daftar prioritas pengawasan, prioritas pengawasan atas wajib pajak (WP) high wealth individual, beserta WP grup dan ekonomi digital.
Ketiga, percepatan reformasi bidang sumber daya manusia, organisasi, proses bisnis dan regulasi. Dilakukan melalui persiapan implementasi core tax system, perluasan kanal pembayaran pajak, penegakan hukum yang berkeadilan, dan pemanfaatan kegiatan digital forensik.
Keempat, pemberian insentif fiskal yang terarah dan terukur ditujukan untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu dan memberikan kemudahan investasi.” (CNBC Indonesia, 02/12/2022)
Sekilas, mungkin terlihat beberapa kebijakan di atas terlindah indah dan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, namun di Negara yang sumber daya alam nya melimpah ruah ini apakah tepat menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan dan perbaikan tatanan kehidupan?
Bukankah negeri ini sangat kaya raya, bahkan jikalau hendak dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, maka ia mampu menghidupi masyarakat pada umumnya. Namun sayang semua kekayaan alam yang berlimpah ini hanya dikelola oleh para asing dan aseng saja sehingga kita hanya menikmati remah-remahnya saja. Namun tak terelakkan lagi, bahwa masyarakatlah yang harus menanggung ini semua di tengah kebutuhan yang semakin berat, yang itu semua mestinya ditanggung oleh negara.
Inilah yang terjadi jika negara mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat. Padahal kenyataan nya, semua jenis pajak ini hanya bisa menambah beban rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada.
Kebijakan semacam ini tentu bukan kali ini saja terjadi. Semua hal itu sebenarnya sudah menjadi watak asli sistem demokrasi kapitalis. Mereka menjadikan pajak sebagai penghasilan utama. Sungguh apa yang terjadi saat ini, berupa berbagai kesengsaraan masyarakat merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme itu sendiri.
Kapitalisme meniscayakan keuntungan hanya untuk para pemodal, tak peduli akan rakyat apalagi kesejahteraannya. Sangat sulit bagi negara dengan sistem kapitalis untuk tidak menarik pajak, karena pajak merupakan pemasukan terbesar bagi negara dengan sistem tersebut. Mereka akan sangat mudah menetapkannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah ketetapan tersebut akan menyengsarakan rakyat atau tidak.
Paradigma yang berbeda akan kita temukan dalam sistem Islam dan kekhilafahan. Islam memandang bahwa kemaslahatan rakyat nya lah yang utama. Islam mengenal istilah pajak atau dharibah, namun penarikan pajak atau dhoribah ini hanya kepada masyarakat muslim yang kaya, bersifat insidental dan temporal (hanya pada keadaan dan waktu tertentu saja).
Artinya, pemungutan pajak dalam negara Islam dilakukan hanya ketika kas negara atau baitul mal tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang menjadi tanggungan nya. Adapun ketika perekonomian negara telah pulih kembali maka penarikan pajak pun akan segera dihentikan. Alhasil dengan kebijakan tersebut, rakyat kecil pun tak akan lagi dibuat kesulitan dengan menumpuknya nilai pajak yang bahkan meliputi seluruh aspek kehidupan mereka.
Seperti itulah Islam menjaga kestabilan ekonomi negara, Islam melarang para pemegang kuasa untuk menggantungkan pemenuhan kebutuhan nya pada pemasukan pajak dari masyarakat. Melainkan negara punya pemasukan sendiri, diantaranya dari fa’i, kharaj dan lain-lain. Apalah lagi jika penerapan aturan Islam ini di terapkan di negeri tercinta yang kaya raya ini, di mana negara memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh anak-anak bangsa untuk kemudian dipergunakan guna memenuhi kebutuhan rakyat.
Demikianlah Islam sebagai agama yang datang dari Sang Pencipta, dengan seperangkat aturannya yang sempurna. Semuanya diatur sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Sungguh semua hal akan menjadi teratur dengan diterapkannya sistem ini secara sempurna di tengah-tengah masyarakat.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini