Oleh : Wulansari Rahayu, S.Pd
Penggiat Dakwah
Pemerintah mengklaim dengan menciptakan bracket baru, memberikan keberpihakan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah dan yang memiliki pendapatan yang lebih besar, membayar lebih tinggi namun tentunya Penetapan Pajak Penghasilan di atas 5 juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.
Pemerintah telah menerbitkan aturan mengenai pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan mengubah batas batas penghasilan kena pajak (PKP) menjadi Rp 5 juta per bulan atau kumulatif Rp 60 juta per tahun, dari sebelumnya Rp 4,5 juta sebulan atau kumulatif Rp 54 juta per tahun. Perubahan ini tertuang di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Aturan ini kemudian diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh. (kontan. id, 2/2023).
Tahun lalu pada bulan April, pemerintah juga mengenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11%. Meski tidak berlaku untuk semua komoditas, nyatanya kenaikan PPN mengerek harga berbagai barang.
Viralnya seruan untuk berhenti membayar pajak adalah cermin kondisi masyarakat yang terbebani dengan pungutan ini. Kondisi ekonomi masyarakat sudah berat sejak dihajar pandemi. Belum juga pulih, kini harga bahan pokok melejit, beratnya beban membuat rakyat kian menjerit.
Hal ini mendapat tanggapan dari Sri Mulyani, mereka yang menyampaikan hashtag enggak bayar pajak, ya berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin lihat Indonesia bagus, itu saja.” (Kontan, 19/07/2022).
Inilah yang terjadi jika negara mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat. Padahal pajak membebani rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada.
Demikianlah kekuatan sistem. Ketika sistem sudah mewajibkan sesuatu, rakyat terpaksa taat. Begitu juga ketika sistem mewajibkan pajak, rakyat pun tidak bisa menolak. Meski berat dan mencekik, rakyat terpaksa bayar juga. Jika mangkir, sanksi siap menanti.
Inilah paradigma yang berbeda pada sistem Islam. Dalam Islam pajak adalah pungutan in sidental sesuai kondisi keuangan negara dan hanya dipungut dari rakyat yang kaya.
Sistem ekonomi Islam tidak mengenal konsep pajak sebagaimana kapitalisme. Memang ada istilah “dharibah” dalam Islam yang sering diartikan ‘pajak’. Akan tetapi, konsepnya sangat berbeda dengan pajak dalam kapitalisme sehingga tidak bisa menyamakannya.
Dharibah tidak diberlakukan secara permanen, melainkan temporal. Saat kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan darurat dan wajib ditunaikan, barulah dharibah dipungut. Ketika kas negara tidak kosong, tidak ada pungutan dharibah. Maka jelas dalam sistem Islam pajak di wajibkan terhadap rakyat.
Inilah bedanya Khilafah dengan kapitalisme. Khilafah menyejahterakan, sedangkan kapitalisme justru mencekik rakyat dengan pajak. Semestinya ini menjadi penguat kita untuk memenuhi seruan agar hidup dengan aturan-Nya.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Anfal: 24,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَجِيْبُوْا لِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ اِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْۚ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَحُوْلُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهٖ وَاَنَّهٗٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْن
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila ia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” Wallualam bishowab
Tags
Opini