Oleh : Ummu Aimar
Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.
Secara akumulatif, komponen yang dibebankan pada dana nilai manfaat sebesar Rp5,9 triliun.
"Tahun ini pemerintah mengusulkan rata-rata BPIH per jemaah sebesar Rp98.893.909, ini naik sekitar Rp514 ribu dengan komposisi Bipih Rp69.193.733 dan nilai manfaat sebesar Rp29.700.175 juta atau 30 persen," kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks MPR/DPR, Senayan Jakarta, Kamis , 10/01/2023
https://www.cnnindonesia.com).
Kenaikan biaya ibadah haji yang kian melangit ini menimbulkan berbagai banyak pertanyaan. Hitung- Hitungan tersebut berawal dari kian panjangnya antrean para jemaah haji yang telah terdaftar. Merujuk data Kemenag , jumlah pendaftar haji setiap tahunnya mencapai angka 5,5 juta. Jika dibagi dengan kuota normal per tahun sebanyak 221.000, terlihat bahwa masa tunggu haji rata-rata mencapai 25 tahun. Dalam rentang waktu ini, dana haji yang telah calon haji setorkan berada di bawah pengelolaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Jelas masalah mendasar dalam pengelolaan dana haji hingga penyelenggaraan haji saat ini terletak pada spirit bisnis pemerintah sendiri. Spirit ini hadir di tengah tingginya hasrat umat Islam untuk menjalankan ibadah haji.
Namun kapitalisme hadir,
Prinsip-prinsip pengelolaan dana haji pada akhirnya kental dengan spirit kapitalisme. Mengapa? Dana sebesar ini mana mungkin dibiarkan menganggur. Keinginan untuk menjalankan ibadah haji yang bertemu dengan naluri bisnis dalam sistem yang kapitalistik, ampuh menjadi bahan bakar dalam menjalankan prinsip-prinsip investasi. Inilah masalah mendasarnya.
Terlebih lagi, wewenang BPKH yang tertuang dalam UU 34/2014 menetapkan bahwa dalam pengelolaan keuangan haji, BPKH tidak hanya mengelola penerimaan dana haji, melainkan juga pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawabannya. Dampaknya adalah hitung-hitungan untung-rugi dalam pengelolaan dana. Alhasil, naiknya biaya bukan semata karena kurs rupiah, tetapi juga konsekuensi dari spirit bisnis yang hadir dalam pengelolaan dana.
Dalam konteks investasi dana para jemaah, jelas tidak memenuhi prinsip pengembangan harta dalam Islam. Dengan sendirinya, terwujudnya manfaat bagi umat dalam pengelolaan dana para jemaah justru kabur dan tidak sesuai konteksnya dalam pengelolaan dana haji.
Masalah panjangnya antrean adalah masalah yang wajib pemerintah urai. Caranya adalah dengan menyediakan kuota yang realistis. Saat ini, mengularnya antrean setiap tahunnya juga karena pemerintah terus menerima setoran dana awal jemaah. Pemerintah sendiri memfasilitasi dengan memudahkan setoran awal dengan digit yang kian ringan. Wajar jika antrean bisa mencapai puluhan tahun. Belum lagi dengan adanya sistem pembagian haji khusus dan reguler, menjadi catatan tersendiri khususnya dalam penyediaan kuota jemaah haji.
Mengenai tata kelola, termasuk biaya untuk menunaikan ibadah haji, biaya keberangkatan, biaya hidup, pelayanan selama menjalankan ibadah, hingga kembali ke tanah air, hendaknya sesuai biaya riil. Untuk itulah perlu untuk untuk memastikan kuota sesuai target per tahun.
Karena mahalnya biaya haji di Indonesia tidak terlepas dari sistem hidup atau ideologi yang diterapkan hari ini, yakni kapitalisme sekularisme.
Dampaknya, memengaruhi pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim. Asasnya adalah materi, standar kebahagiaannya adalah materi. Tak ayal, pelayanan publik acap kali dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan ibadah haji.
Jelas penguasa saat ini yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, berubah menjadi pengusaha yang pertimbangannya untung rugi. Mahalnya biaya haji, misalnya, hanyalah dampak dari rantai kepentingan kapitalis yang berkelindan dalam urusan haji.
Ibadah haji dalam pandangan kapitalisme adalah ceruk bisnis dan ceruk pasar yang kemudian dieksploitasi, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil.
Catatan sejarah penyelenggaraan haji dalam sistem Islam. Betapa besar perhatian dan pelayanan antara khalifah dan jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Hanya untuk melayani. Jauh dari konteks investasi atau mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Jika negara harus menetapkan biaya penyelenggaraan haji, maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Khilafah juga bisa membuka opsi, yakni rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Di dalam sistem Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa.
Semua aktivitas ibadah haji dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dan lainnya.
Wallahu'alam
Tags
Opini