Muhasabah Bukan Sekadar Seremonial






Sumber gambar: mudanews.com

Oleh: Rinica M

Di penghujung tahun, lazimnya di penghujung agenda besar, jamak ditemukan wacana muhasabah. Baik dilakukan secara personal, komunal kelembagaan, maupun sekadar rutinitas seremonial semata.

Muhasabah atau perhitungan atas apa yang telah dikerjakan adalah hal positif. Pun ia termasuk perkara yang diperintahkan olehNya (lihat Alhasyr ayat 18). Menurut Imam As-Sa'di ayat terkait perintah bagi setiap diri untuk memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok (hari kiamat) sekaligus agar bertakwa kepada Allah merupakan pangkal terkait muhasabah.

Lanjutnya, setiap orang harus selalu mengevaluasi diri. Jika dia melihat adanya kekeliruan, dia segera melakukan koreksi dengan cara melepaskan diri dari kekeliruan tersebut. Dia segera bertobat secara sungguh-sungguh dan berpaling dari berbagai hal yang mengantarkan pada kekeliruan tersebut. Jika dia menilai dirinya banyak kekurangan dalam menunaikan perintah-perintah Allah, ia segera mengerahkan segala kemampuannya agar bisa taat...."

Pun dalam HR Tirmidzi, disampaikan: "Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Orang yang lemah (bodoh) adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan kepada Allah." Maka muhasabah adalah hal penting yang akan berimbas besar, yakni menaikkan level kebaikan, meningkatkan ketaatan, menambah ketakwaan.

Selama ini, mungkin sudah banyak yang sukses melakukan muhasabah individu. Namun untuk muhasabah komunal, nampaknya bisa dikatakan masih semangat ketika seremonial di awal. Semakin ke sini akan menunjukkan pelaksanaan yang tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya alias masih jalan di tempat. Terlebih jika yang diamati adalah kondisi umat secara umum.

Ada memang di antara umat yang kondisinya semakin baik, namun yang berkebalikan tidak kalah banyak. Lihatlah kabar korupsi yang semakin menjadi-jadi, nilai yang diembat semakin meninggi, hak rakyat yang diamputasi jadi makin banyak sekali. Lihat pula bagaimana ketajaman hukum atas kriminil yang berpakaian rapi dibandingkan dengan orang kecil yang melakukan kekeliruan.

Dari sisi kemiskinan, betapa banyak yang masih sulit untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Dari sisi pergaulan remaja, betapa banyak di
antaranya yang terseret arus narkoba, pergaulan bebas, hingga kriminalitas hanya karena salah tontonan dan tuntunan dari lingkungan pergaulan yang tidak benar.

Kemaksiatan demi kemaksiatan banyak dijumpai, perbuatan dosa banyak dikerjakan, sementara hukum Allah ditinggalkan atas payung sekulerisasi. Bahkan jika ada yang berusaha mengingatkan dan mengajak kembali mendekat padaNya seraya meninggalkan segala model kemaksiatan justru distigmasisi. Akibatnya kerusakan demi kerusakan di atas masih ada kendati muhasabah sudah dilakukan berulang kali.

Jikalau ingin serius menata dan memperbaiki, maka titahNya sebagaimana yang disebutkan dalam surat Alhasyr ayat 18 tadi yang harus dilakukan. Yakni menargetkan diri, personal maupun komunal menjadi sosok yang bertakwa. Takwa yang dimaknai dengan keseriusan menjalankan apa yang Allah perintahkan dan kesungguhan menjauhi semua yang Allah larang.

Dan kesempurnaan takwa ini akan dapat diraih jikalau bukan hanya individu saja yang berniat. Melainkan harus disupport pula oleh lingkungan dan negara. Caranya adalah dengan menjadikan aturan Allah sebagai panduan. Niscaya dengan adanya peraturan IsIam di setiap tempat, Azzam taqwa individu tidak bertepuk sebelah tangan.

Lingkungan yang kondusif Islamnya akan memudahkan untuk beranjak dari kubangan kesalahan, bangkit dari keterpurukan. Dan aturan yang bersumber dari Alquran dan assunnah lah yang patut menjadi rujukan. Dan inilah sejatinya yang menjadi perwujudan takwa hakiki. Dengan cara inilah, niscaya aktvitas muhasabah akan jauh bermakna, bukan sekadar seremonial belaka. []


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak