Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Unjuk rasa sejumlah kepala desa di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023 menuai polemik. Meski mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU Desa, tapi tak sedikit yang justru mengkritiknya. Sebab, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melanggengkan oligarki.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah seharusnya tidak mengakomodir tuntutan kepala desa yang menginginkan perpanjangan masa jabatan.
Pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga berpendapat, keberanian menolak tuntutan diperlukan karena disinyalir ide perpanjangan masa jabatan terkait dengan Pemilu 2024.
“Ini artinya, ide perpanjangan masa jabatan itu cenderung pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan,” tegas Jamiluddin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (22/1).
Di sisi lain, rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa menuai tanda tanya. Pasalnya, tak sedikit kepala desa yang justru terjerat kasus korupsi.
Data KPK dari 2012 sampai dengan 2021, tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 686 kades di tanah air terjerat korupsi.
Bahkan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanees Tuba Helan menilai, perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun berpotensi menyuburkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di desa.
Sungguh miris, usulan perpanjangan masa jabatan dengan alasan untuk melaksanakan pembangunan. Namun inilah fakta sistem pemerintahan demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Akar permasalahnya sejatinya terletak pada sistem yang menopang aturan lamanya masa jabatan itu sendiri yaitu demokrasi. Maka mustahil terlahir pemimpin pro umat dalam rahim demokrasi. Pasalnya, para kandidat tidak bisa dilepaskan dari oligarki dan para pemilik modal yang membek-upnya.
Kontestasi politik yang begitu mahal meniscayakan keterlibatan para pemilik cuan dan dukungan penuh oleh oligarki.
Terjadinya politik transaksional yaitu jual beli jabatan dan kebijakan yang senantiasa membingkai kinerja mereka. Maka tak heran, kebijakan hanya berputar pada kepentingan korporasi sang pemilik harta dan oligarki sang pemilik kuasa. Sehingga bisa dipastikan, pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi tidak akan pernah melayani umat, kecuali hanya sedikit dan itu pun hanya untuk politik pencitraan. Sebaliknya, mereka akan berusaha memperlama masa jabatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Dalam sistem demokrasi, jabatan dan kekuasaan hanya menjadi alat untuk memperkaya diri dan memfasilitasi para pengusaha yang menjadi para penguasa sejati, untuk mencapai tujuannya sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat sama sekali. Sesungguhnya, lamanya masa jabatan tidak akan menjadi persoalan, selama kekuasaan ditempatkan sebagai amanah dalam mengurus rakyat yang disadari akan dipertanggungjawabkan kepada Allah swt kelak di akhirat.
Paradigma seperti ini hanya ada dalam sistem politik Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Yang selalu menjadikan syariat Islam satu-satunya pijakan dalam menetapkan aturan dan kebijakan. Dalam Islam, seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat atas amanah kepemimpinannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :"Imam adalah raa'in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya"(HR. Bukhari). Seorang pemimpin atau penguasa di dunia, wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga menjaga segala kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga seluruh masyarakat baik miskin ataupun kaya mampu mengaksesnya secara cuma-cuma tanpa dipungut biaya.
Sesungguhnya telah jelas bahwa pada dasarnya seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah swt dan amar makruf nahi mungkar. Sistem pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang diktatorisme, kesewenang-wenangan, ataupun dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. Sebab, baik rakyat maupun penguasa tidak diberi hak membuat hukum yang lazim untuk memaksa orang lain.
Adapun masa jabatan Khalifah dan pemimpin di bawahnya yang dibatasi oleh wilayah yakni (wali dan amil), tidak dibatasi oleh waktu dan periode melainkan dibatasi dengan hukum syariat. Jabatan Khalifah dan pemimpin-pemimpin tersebut boleh sebentar ataupun lama. Ia boleh diberhentikan ditengah jalan kapan saja jika terbukti melanggar syariat dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika taat terhadap syariat. Ia tetap bisa dipertahankan selama masyarakat masih menyukainya dan tidak ada aturan yang dilanggarnya.
Artinya, yang membatasi masa jabatan Khalifah adalah syarat tertentu. Selama ia masih memenuhi syarat tersebut, maka ia akan menjabat sampai meninggal. Atau sampai jikalau sudah tidak memenuhi salah satu syarat sebagai penguasa kaum muslimin.
Dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda :"Selama Ia masih memimpin kalian, maka ia wajib didengar dan ditaati,"(HR.Muslim).
Demikianlah, hanya penerapan syariat Islam secara kaffah yang akan melahirkan pemimpin amanah dan mau mengayomi rakyatnya.
Wallahu alam bish-sawab.
Tags
Opini