Oleh : Andini
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menjadi KUHP pada 06 Desember 2022 lalu memunculkan kehebohan.
Pasalnya dalam UU tersebut terdapat aturan baru yang melarang seks di luar nikah untuk penduduk lokal dan wisatawan dari luar negeri. Bahkan bisa sampai dipenjara.
Berdasarkan KUHP baru, perzinaan akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II, mencapai Rp 10 juta. (cnbcindonesia.com, 10/12/2022)
Aturan baru ini menimbulkan kegaduhan sampai ke media mancanegara. Mereka juga menyebut bahwa aturan itu hanya akan membuat turis enggan untuk berkunjung ke Indonesia. Apalagi Indonesia, khususnya para pelaku pariwisata terhitung baru pulih dari kondisi covid yang melanda. Tentu menurut mereka KUHP baru itu adalah keputusan yang tidak tepat.
Melihat ramainya media mancanegara yang memberitakan KUHP ini, Juru bicara Kementerian Hukum dan HAM, Albert Aries, mencoba menenangkan kekhawatiran mereka dengan mengatakan bahwa risikonya lebih kecil bagi wisatawan, karena siapa pun yang melaporkan ke polisi kemungkinan besar adalah WNI.
"Artinya [turis] Australia tidak perlu khawatir," kata Albert seperti dikutip situs berita Australia WAToday.com. (bbc.com, 07/12/2022)
Munculnya banyak protes pada aturan baru tersebut -dengan dalih akan merugikan bisnis dan pelaku pariwisata-, telah menggambarkan pada kita bahwasannya perilaku maksiat dalam sistem kapitalisme sangat bisa dimaklumi, bahkan difasilitasi. Selama bisa menopang roda ekonomi, kemaksiatan bisa dinegosiasi.
Dalam delik aduan perzinaan pun terbatas hanya boleh dilaporkan oleh pihak keluarga saja. Hal ini juga membuktikan, gaya hidup dalam masyarakat kita telah begitu liberal dan sekuler. Jika ada pihak lain yang ikut campur atau menegur, pelaku kemaksiatan selalu berlindung dibalik jargon hak asasi manusia dan kebebasan yang diemban demokrasi.
Semua itu tentu berbeda dengan kehidupan di bawah naungan sistem Islam. Jika dalam kapitalisme, pariwisata dijadikan sumber pendapatan negara, bahkan tak lagi melihat halal dan haram, lainnya halnya dengan Islam.
Sumber-sumber utama pendapatan negara -atau dalam Islam disebut Kas Baitul Mal- seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam.
Paling tidak ada tiga sumber utama:
Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
Kedua, sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batubara, kehutanan dsb.
Ketiga, sektor kepemilikan negara, seperti: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur dsb.
Kemudian negara juga punya peran penting untuk membuat kebijakan yang menutup semua celah kemaksiatan, termasuk menutup pintu yang bisa mendekatkan umatnya pada perzinaan. Mulai dari menutup tempat hiburan yang berbau pornografi dan pornoaksi, melarang iklan yang mengumbar aurat, melarang media baik cetak, elektronik, maupun media sosial menampilkan pornografi atau pornoaksi.
Allah berfirman dalam QS Al-Isra ayat 32:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kalian mendekati zina: sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Dan semua itu insyaallah akan bisa diwujudkan dalam negara yang menerapkan syariah Islam, bukan kapitalisme demokrasi.
Tags
Opini