Oleh : Bunda Hanif
Dikutip dari Muslimahnews.com (24/01/2023) bahwa mahalnya biaya perjalanan haji ini akibat penerapan sistem kapitalisme sekulerisme saat ini. Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana di kanal justice Monitor. Sehingga butuh solusi Islam untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Di dalam negara yang menganut sistem kapitalisme sekulerisme, semua pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan bahkan ibadah haji dikomersilkan. Karena asas dari sistem ini adalah materi. Segala hal harus bisa menghasilkan materi walaupun itu untuk hajat hidup orang banyak.
Mahalnya biaya haji adalah dampak dari kepentingan para kapitalis demi meraup untung sebanyak-banyaknya. Penguasa di negara kapitalisme bukanlah sebagai pelayan rakyat, melainkan bertindak sebagai pengusaha. Pengusaha selalu memperhitungkan untung rugi dalam segala aktivitasnya.
Betapa mirisnya, di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, untuk bisa melaksanakan ibadah haji merupakan hal yang sulit. Semua terkendala oleh mahalnya biaya dan antrian yang panjang. Para kapitalis menjadikan ibadah haji ini sebagai ladang bisnis, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, catering, jasa perizinan sampai jasa pembimbingan.
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Seharusnya negara berperan dalam memberikan kemudahan rakyatnya untuk bisa melaksanakan ibadah haji. Namun nyatanya sungguh jauh dari harapan. Berbeda dengan penyelenggaraan haji dalam sistem Islam. Sejarah mencatat, besarnya perhatian dan pelayanan khalifah dalam negara khilafah kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka adalah tamu Allah yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Semua ini merupakan kewajiban negara yang harus dijalankan tanpa memikirkan keuntungan apalagi dijadikan ladang bisnis.
Khalifah dalam negara khilafah akan melakukan beberapa langkah dalam menangani urusan haji. Pertama, khalihah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji. Oramg yang dipilih haruslah oramg yang bertakwa dan cakap dalam memimpin.
Kedua, menentukan biaya perjalanan haji yang besarnya disesuaikan berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Mekkah-Madinah) serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Perjalanan yang ditempuh bisa melalui rute darat, laut dan udara sehingga konsekuensi biasa masing-masing akan berbeda.
Ketiga, mengatur kuota haji dan umroh. Khalifah harus memperhatikan bahwa kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Calon jamaah haji yang sudah memenuhi syarat dan berkemampuan namun belum pernah melaksanakan haji, akan diprioritaskan.
Keempat, menghapus visa haji dan umroh. Di negara yang menganut sistem Islam, tidak ada sekat-sekat antar wilayah. Semua berada dalam satu wilayah yaitu daulah Islamiyah. Tidak seperti kondisi saat ini, disekat-sekat oleh batas daerah dan negara. Seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia Islam bebas keluar masuk Mekkah-madinah tanpa visa, hanya perlu menunjukkan kartu identitas.
Kelima, menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung terlaksananya ibadah haji dan umroh. Sehingga pelaksanaan ibadah haji dan umroh bisa berjalan dengan lancar.
Keenam, melakukan protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, pemberian vaksin, menyediakan sarana kesehatan dan tenaga medis yang memadai. Walaupun terjadi pandemi atau wabah, khalifah tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing dan treatment).
Demikianlah pelaksanaan ibadah haji dan umroh pada masa khilafah. kepala negara adalah pelayan bagi rakyatnya yang harus bisa meri’ayah dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk urusan ibadah haji. Tidak seperti saat ini, rakyat dipersulit dengan mahalnya biaya perjalanan dan rumitnya birokrasi. Semua ini dikarenakan pengurusan haji dijadikan ladang bisnis yang tujuannya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Masihkah kita berharap kemudahan melaksanakan ibadah haji dan umroh pada sistem saat ini?
Wallahu ‘alam bisshowab