Mafia Perdagangan Manusia, Legal dan Tak Berhati Nurani

 


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Chrisanctus Paschalis Saturnus dari Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) mengatakan penyelundupan calon tenaga kerja Indonesia secara gelap ke Malaysia disebut telah menjadi “bisnis haram” miliaran rupiah yang berlangsung secara tersistematis, terstruktur, dan masif, mulai dari jalur ilegal hingga pintu resmi.

Semuanya terorganisir rapi di bawah kendali apa yang disebut ‘mafia perdagangan manusia yang bekerja sama dengan oknum-oknum petugas.

Salah satu lubangnya adalah pintu resmi antarpelabuhan dari Batam dan Johor Bahru. Menurut Paschalis, calon tenaga kerja seolah-olah masuk Malaysia secara resmi sebagai turis, padahal, calon pekerja migran diselundupkan untuk kemudian bekerja secara ilegal. Setiap orang dikenakan biaya Rp10-20 juta.

KKPPMP juga mengatakan menemukan adanya dugaan keterlibatan oknum petugas imigrasi dan polisi dan telah melaporkan temuan ini kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan belum ada tanggapan. Bukti lain berapa licinnya bisnis perdagangan gelap ini adalah adanya laporan Kepolisian Riau mengatakan para “turis” itu menggunakan kode khusus di setiap belakang tiket, dimana kode itu yang membedakan antara calon pekerja migran nonprosedural dengan penumpang umum.

Banyaknya nomor seri kode menunjukkan seberapa banyak orang yang telah diselundupkan. Paschalis yakin data itu lalu digunakan oleh oknum petugas imigrasi dan oknum polisi untuk mendapatkan ceruk “jatah keamanan” dari para mafia perdagangan manusia.

Tak Ada Kesejahteraan, Negara Tetangga Jadi Sasaran

Penyelundupan calon tenaga kerja Indonesia secara gelap ke Malaysia telah menjadi “bisnis haram” miliaran rupiah. Mirisnya semua juga terjadi mulai dari jalur ilegal hingga pintu resmi. Ini menjadi potret buram petugas yang mengkhianati sumpah jabatannya demi rupiah.

Sungguh malang nasib para TKI. Di dalam negeri tak mendapat lapangan pekerjaan, di luar diperas oleh sesama. Inilah potret buruk sistem kehidupan sekuler yang dikuasai materi. Negara abai akan tanggungjawabnya menjamin kesejahteraan rakyat., dan juga menjamin perlindungan terhadap rakyat. Sesama Rakyat pun tega merugikan sesamanya sendiri.

Jelas, akar persoalannya karena tak ada kesejahteraan. Banyak infrastruktur raksasa dibangun, namun sedikit rakyat yang memanfaatkannya, semata karena tak berkorelasi terhadap terwujudnya kesejahteraan. Biaya hidup tetap tinggi, lapangan pekerjaan makin sulit. Padahal Indonesia adalah negara kaya raya, sumber tambang dan kekayaan alam lainnya, baik di darat maupun di lautan sangat berlimpah. UUD 1945 pun di pasal 33 ayat 3 mengamanatkan pengurusanya oleh negara untuk rakyat. Demikian bunyinya,“Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.

Lantas mengapa rakyat tetap sengsara? Satu saja blok minyak bumi di perairan Aceh atau gunung emas di puncak Gunung Gasbergh Papua dikelola oleh negara, tentulah kemakmuran bisa terwujud. Semua karena negeri kita telah bertekuk lutut di hadapan sistem kapitalis yang diemban barat. Bukan dalam bentuk penjajahan fisik, namun lebih kepada perjanjian dan kerjasama sebagai bentuk penjajahan gaya baru.

Tak ada yang lebih penting bagi pengemban kapitalisme selain harta atau materi. Maka, ini pula yang menggeser mindset para penguasa, sebab sejatinya mereka juga para pengusaha di hadapan rakyatnya, mereka pengusaha dihadapan asing dan bermitra dengan mereka dengan menjual aset-aset negara, yang dalam UUD 1945 adalah milik rakyat.

Melihat fakta ini, tak ada jaminan bagi kita pada titik tertentu kapitalisme akan mampu mewujudkan kesejahteraan. Lihat saja narasinya selalu penyesuaian harga atau tarif, baik itu pada distribusi BBM, tarif BPJS, tarif Tol dan lainnya. Rakyat tertipu, padahal tidak akan pernah sesuai sampai kapanpun, karena begitula cara kapitalis bertahan dan menghegemoni negara-negara miskin atau berkembang.

Islam Bukan Sekadar Akidah, tapi Juga Sistem Hidup

Rasulullah Saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Inilah yang membedakan secara mendasar fungsi penguasa dalam sistem kapitalisme dan Islam.

Dalam sistem Islam, negara menjamin setiap individu, dan melindungi secara nyata Sesama muslim pun saling menjaga dan melindungi. Perdagangan manusia bukan jalan mendapatkan pendapatan negara maupun individu. Jauh sebelum negara Eropa menyusun UU yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), Islam ribuan tahun lalu telah meletakkan nyawa manusia sebagai bagian terpenting dalam peradaban sehingga tak boleh ada kegiatan yang justru membahayakan manusia.

Maka, negara sebagai wakil dari seluruh kaum Muslim menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup, pemberian modal baik bergerak maupun tidak kepada individu rakyat, terutama bagi kepala keluarga, agar mereka dapat dengan mudah dengan usahanya memberi nafkah kepada keluarganya,tanpa harus mengambil risiko tinggi dengan menjadi buruh migran di negara asing.

Bagi mereka yang lemah, dan benar-benar tidak bisa mencari nafkah akan disantuni oleh negara. Negara tidak akan membiarkan ahli waris menderita, kepala keluarga kebingungan hingga para wali keberatan menanggung kewajibannya.

 Negara mampu menjamin ini karena ada kas Baitul mal yang juga berasal dari banyak pos pendapatan yang sudah ditetapkan syariat. Hanya satu syaratnya, cabut kapitalisme dan sistem politik yang melanggengkannya yaitu demokrasi, ganti dengan syariat Islam . Wallahu ' alam bish showab.


Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak