Ladang Korupsi di Lembaga Peradilan



Oleh : Elly Waluyo
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)



Seorang hakim yustisial berinisial EW menambah daftar panjang pejabat lembaga peradilan yang tersandung kasus korupsi. Dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung membuat Hakim berinisial EW ditetapkan sebagai tersangka ke-14 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah sebelumnya empat hakim yang berinisial SD, GS, ETP dan PN terjerat kasus serupa dalam perkara yang sama. Diduga suap sebesar 2 miliar dalam bentuk mata uang asing telah mempengaruhi keputusan atas perkara kepailitan sebuah koperasi.


Profesor Gayus Lumbuuh menyatakan bahwa negeri ini darurat peradaban hukum karena banyaknya hakim yang merupakan ujung tombak peradilan terjerat kasus korupsi. Celah terjadinya korupsi menurut Prof Gayus ketika seorang hakim mendapatkan penempatan, promosi dan mutasi di Mahkamah Agung karena kurang ketatnya proses seleksi oleh Tim promosi dan mutasi (TPM) sehingga, penempatan hakim-hakim tersebut banyak terjadi pelanggaran. 


Pihaknya juga meminta agar pemerintah memberikan regulasi sanksi mundur jabatan pada pimpinan badan peradilan apabila terdapat bawahannya terlibat korupsi dan memberikan jaminan bagi pihak yang dirugikan karena putusan yang mengandung suap tersebut. Praktik jual beli perkara di lembaga peradilan menurut Zaenur Rohman seorang peneliti dari PUKAT-UGM, telah terjadi sejak jauh sebelum masa reformasi 98. Meskipun telah terjadi perbaikan internal di tubuh MA namun masih tidak mampu menghilangkan kasus jual beli perkara tersebut. Zaenur menuding besarnya wewenang yang dimiliki oleh penegak hukum dengan kecilnya kontrol, serta ketimpangan kesejahteraan antara hakim dan pegawai non hakim di lembaga peradilan merupakan pintu masuk korupsi pegawai dari tingkat tinggi hingga tingkat rendah (https://bbc.com : 20 Desember 2022)


Pernyataan mengejutkan datang dari Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam acara Aksi, Pencegahan korupsi 2023-2024 secara daring. Luhut mengungkapkan bahwa KPK tak perlu melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena hal tersebut dinilai merusak citra negara Indonesia, lebih baik melalui digitalisasi dalam pemerintahan. Pihaknya juga meminta KPK untuk memperbaiki kinerjanya, melakukan upaya toleran dan tidak sering melakukan OTT. Menurutnya “Jadi KPK jangan pula sedikit-sedikit tangkap tangkap, ya lihat-lihatlah. Jadi kalau kita mau bekerja dengan hati, ya kalau hidup-hidup sedikit bolehlah, kita kalau mau bersih-bersih amat di surgalah kau”. (https://tirto.id : 21 Desember 2022)


Sesuatu yang mustahil mengharapkan pemerintahan yang bersih bebas korupsi dalam negara yang menggunakan sistem kapitalis. Justru sistem kufur buatan manusia ini makin menumbuhsuburkan korupsi, tak heran jika makin banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi. Menjadi pejabat pemerintahan dalam sistem demokrasi yang merupakan anak keturunan sistem kapitalis ini, prosesnya panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit, akan sulit seorang calon pejabat jika tak menggandeng korporat untuk membuka jalan yang mulus duduk di kursi pejabat.


Azas manfaat didalam sistem kapitalis membuat para korporat tak mau memberikan bantuan secara gratis sehingga membutuhkan timbal balik yaitu regulasi yang menguntungkan korporat, maka lahirlah pejabat yang tak perduli dengan kepentingan rakyat. Selain itu kesuksesan yang bersandar pada materi membuat para pejabat dalam sistem ini berlomba-lomba mencari materi sebanyak-banyaknya, cara haram pun dilakukan karena ciri khas sistem sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan dan azas kebebasan yang bercokol didalamnya. 


Berbeda halnya dengan sistem Islam yang menempatkan pejabat sebagai Ra’in atau pengurus rakyat dan mengharamkan seorang pejabat memanfaatkan harta yang diamanahkan padanya. Pengawasan terus dilakukan oleh badan pengawas keuangan negara terhadap perkembangan harta pejabat dari sebelum menjabat dan setelah menjabat. Sanksi tegas yang bersifat zawajir dan zawabir pada hukum Islam mencegah para pejabat dalam sistem Islam melakukan tindakan korupsi. Seorang koruptor dalam sistem Islam dianggap sebagai pengkhianat negara  dan mendapatkan sanksi ta’zir bagi pelakuknya. Sanksi ta’zir diputuskan oleh seorang khalifah sesuai dengan kadar pengkhianatannya. 


Sanksi itu dapat berupa peringatan atau nasihat, diumumkan pada khalayak ramai, cambuk dan yang paling berat adalah hukuman mati. 
Demikianlah ketegasan syariat Islam dalam mengatur dan memecahkan berbagai problematika umat di seluruh aspek kehidupan. Namun syariat Islam yang demikian sempurna tak akan mungkin bisa dijalankan secara kaffah tanpa adanya Daulah Khilafah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak