Oleh : Ni’mah Fadeli
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Sejumlah kepada desa melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023. Mereka menuntut adanya penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Menurut Robi Darwis, salah satu pengunjuk rasa, masa enam tahun terlalu singkat sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi antar elemen tokoh desa padahal dalam pembangunan desa diperlukan konsultasi dan kerjasama dengan pihak lain. Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad meminta agar para kepala desa juga membuat tuntutan kepada pemerintah karena aturan undang-undang tidak bisa direvisi sepihak oleh DPR. Peneliti kebijaan dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro beranggapan bahwa indikator pembangunan desa bukan dari masalah jabatan melainkan kepercayaan warga kepada kinerja aparatur desa. Justru dengan kebijakan perpanjangan jabatan dikhawatirkan hanya digunakan untuk kepentingan politik pribadi. (tirto.id, 19/01/2023).
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember, Adam Muhshi menilai jika perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat rawan dengan tindakan korupsi karena masa berkuasa yang terlalu lama. Dari data KPK sejak tahun 2012 hingga 2021 tercatat 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia dengan 686 kepala desa yang terjerat di dalamnya. Apalagi tuntutan ini disampaikan menjelang tahun 2024 sehingga menimbulkan potensi transaksional jelang Pemilu 2024. (republika.co.id, 23/01/2023).
Dalam UU No. 6 tahun 2014 disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa saat ini adalah 6 tahun dan dapat diperpanjang untuk 3 kali masa jabatan selanjutnya, baik berturut-turut atau tidak. Maka jika tuntutan kepala desa dikabulkan masa jabatannya bisa mencapai 27 tahun. Kesempatan ini tentu menjadi alat politik baru yang sarat akan perjanjian saling menguntungkan antara partai politik yang berkuasa dengan para kepala desa. Maka tak heran jika banyak kalangan menilai tujuan mempercepat pembangunan desa hanya kamuflase untuk memperkuat kekuasaan yang sangat mungkin berkolaborasi dengan pusat sehingga oligarki menguat. Ditambah peluang korupsi akan semakin besar ketika kekuasaan semakin lama di tangan.
Dalam demokrasi, politik transaksional adalah hal yang biasa. Jual beli kekuasaan dan kebijakan senantiasa mengikuti setiap kinerja. Sulit lahir pejabat yang benar-benar pro rakyat karena setiap kebijakan dibayangi oleh pemberi modal. Maka dari waktu ke waktu hanya lahir para pejabat yang menjadikan rakyat sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan meraup keuntungan. Berbagai macam pencitraan dibangun agar rakyat melirik dan tertarik. Namun setelah menjabat berakhirlah semua pencitraan manis tersebut.
Islam tidak mengenal politik transaksional. Dalam Islam, jabatan adalah amanah maka sebenarnya tak jadi soal seberapa lama jabatan itu berlangsung asalkan dilaksanakan dengan tanggung jawab penuh. Islam mensyariatkan bahwa pejabat atau penguasa haruslah seorang yang dapat dipercaya dan mampu melindungi rakyat yang dipimpinnya. “Imam adalah raa’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari). Setiap kekuasaan dalam Islam adalah untuk melaksanakan hukum yang telah Allah tetapkan dan tentu saja senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar.
Islam menutup peluang melakukan penyelewengan kekuasaan karena tidak ada hak baik bagi rakyat atau penguasa membuat hukum sendiri yang mudah diganti sesuai dengan kepentingan masing-masing. Jabatan dalam Islam tidak memiliki batas waktu tertentu namun ada syariat yang membatasinya. Selama seorang pemimpin masih memenuhi syariat tersebut dan rakyat yang dipimpin masih menyukainya maka ia boleh terus memimpin sampai meninggal.
Mencari ridho Allah akan menjadikan para pemimpin benar-benar peduli umat, bukan hanya untuk pencitraan ketika meraih suara semata. Segala sesuatu yang telah Allah syariatkan akan diupayakan dengan maksimal. Maka lama atau singkat masa jabatan tidak akan mempengaruhi kinerja. Lamanya masa jabatan bukan untuk melanggengkan kekuasaan dan mencari keuntungan namun semata untuk melaksanakan amanah yang kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah. Bukan lama jabatan yang dicari namun pengabdian diri pada Illahi dan pemimpin yang demikian hanya akan ditemui ketika syariat Islam telah ditegakkan.
Wallahu a’lam bishawwab.
Tags
Opini