Oleh : Ummu Aqeela
Kekerasan Dalam Lembaga Pendidikan di Indonesia sudah tak asing di telinga kita. Padahal salah satu fungsi pendidikan adalah memanusiakan manusia. Asumsi tersebut berdampak pada proses pendidikan yang dimanfaatkan untuk memberdayakan potensi manusia secara maksimal. Dan yang lebih terpenting adalah mencetak generasi Islam yang mumpuni untuk mengubah peradaban. Namun sekali lagi melihat banyaknya kasus yang terjadi didunia pendidikan, membuat berfikir bahwa cita-cita ini masih jauh panggang dari api.
Sebanyak 15 siswa Mts di Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik Jawa Timur menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kepala sekolah berinisial AN. Bahkan, kabarnya 4 dari 15 siswa sempat pingsan karena pukulan AN. Kekerasan di lingkungan sekolah ini pun mencoreng dunia pendidikan di Kota Pudak.
Kapolsek Manyar, AKP Windu Priyo Prayitno mengatakan kejadian itu bermula pada Selasa (3/1/2023). Saat itu salah satu orang tua siswa melapor ke pihak kepolisian. Setelah ada laporan itu, AKP Windu menyatakan, polisi kemudian melakukan penyelidikan dan tidak hanya satu korban melainkan total 15 siswa kelas IX.
Kapolsek Windu mengatakan kasus bakal dilimpahkan ke unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Gresik, dikarenakan para korban masih di bawah umur.
"Masih kita dalami dengan keterangan saksi yang lain. Selanjutnya saya limpahkan ke PPA," imbuh dia.
Informasi yang dihimpun, tindak kekerasan dari kepala sekolah dikarenakan siswa tersebut membeli makanan di kantin SMK, yang masih satu kompeks dengan Mts. (Times Indonesia, 05 Januari 2023)
Merenungi dari kasus diatas, isu kekerasan pada lembaga pendidikan perlu mendapatkan perhatian serius. Data yang dirilis dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan bersama Komnas Perempuan menunjukan sejak 2015 sampai 2021 ada total 456 laporan kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan.
Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengungkapkan sepanjang tahun 2021 terjadi 18 laporan kasus kekerasan seksual pada lembaga pendidikan dengan korban sebanyak 207 anak-anak, terdiri dari 126 perempuan dan dan 71 laki-laki dengan rentang usia korban di antara 3 sampai 17 tahun. Pada 2022, terhitung sejak Januari sampai Juli, KPAI kembali mencatat terjadi 12 kasus pelanggaran seksual di lembaga pendidikan. Kondisi yang sangat miris bukan. Lingkungan pendidikan khususnya sekolah yang seharusnya menjadi tempat menempa kemanusiaan malah menjelma sebagai sarang bagi predator-predator seksual.
Catatan diatas belum lagi terhitung dengan jenis-jenis pelanggaran lain seperti kekerasan verbal atau kekerasan fisik lain, seperti memukul, menampar baik yang dilakukan oleh guru ke siswa, siswa ke siswa, siswa ke guru, atau orang tua siswa ke guru.
Ini menjadi catatan kita bersama bahwa di antara faktor pendidikan yang terpenting adalah faktor Guru dan Murid. Mereka adalah subjek dan objek pendidikan yang saling berinteraksi agar tujuan pendidikan yang diinginkan dapat terwujud. Guru secara profesional sangat besar peranannya untuk menentukan ke mana arah potensi murid yang akan dikembangkan. Murid juga tidak hanya sekedar pasif, tetapi harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan Gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya. Idealnya dalam konsep pendidikan Islam, Guru dan Murid harus memili ki karakteristik sesuai dengan nuansa pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep Guru dan Murid dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu dapat ditelusuri melalui berbagai aspek, salah satunya adalah bagaimana keadaan kehidupan seorang Guru juga Murid dalam proses perjalanan sejarah dunia pendidikan Islam sejak dahulu hingga sekarang, sejak masa Rasulullah hingga masa modern ini.
Dalam islam, ilmu, guru dan murid adalah tiga hal yang saling terkait. Ketiganya merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Ada guru jika ada murid. Begitu juga sebaliknya. Guru dan murid ada kalau ada ilmu yang diajarkan dan dipelajari. Begitulah siklus yang selalu berlaku dalam sepanjang sejarah manusia.
Menjadi guru bukan sekedar mentrasfer ilmu, lalu selesai, seperti di zaman kita hari ini. Di dunia modern, guru tak ubahnya sebatas pembantu kita mentrasnfer ilmunya kepada kita. Jika demikian yang terjadi, itu namanya sekedar pengilmuan, menjadikan kita mengetahui ilmu yang diajarkan. Padahal, guru tidak semudah itu tugasnya. Guru adalah mereka yang mempunyai beban mengantarkan muridnya menjadi beradab. Mendidik manusia beradab tidak semudah mentransfer ilmu. Sebab, menjadikan orang beradab itu berarti menjadi orang disiplin dalam dirinya, diri dengan alamnya, diri dengan Penciptanya.
Seorang guru sejati adalah yang fokus kepada tugas pendisiplinan (ta’dib) murid-muridnya. Ia tentu saja tidak disibukkan dengan urusan dunia, seandainya itu dalam keadaan normal. Walaupun ada kondisi di saat ini kondisi guru sangat sulit karena kurang diperhatikan oleh penguasa, sehingga guru-guru terpaksa berbisnis sebagai aktifitas sampingan yang tentu saja itu akan berpengaruh pada sisi psikologis dan tingkat emosionalnya. Padahal semestinya, sebagai pengemban tugas yang berat, kesejahteraan guru sudah terjamin.
Negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya; yang dalam hal ini menjamin kebutuhan pokok publik berupa pendidikan gratis berkualitas termasuk kebutuhan terhadap guru dengan gaji yang menyejahterakan dan memuliakan.
Maka negara akan memberikan sarana dan prasarana yang layak untuk dunia pendidikan. Maka tak heran dalam sistem Islam, lahir generasi-generasi cerdas dan bertakwa karena didukung penuh oleh negara. Sistem Islam memang layak menjadi penantian para guru. Kemuliaan guru akan terpancar karena penerapan syariah Islam secara kaffah di ranah pendidikan khususnya dan negara pada umumnya.
Wallahu’alam bishowab