Oleh: U. Fathan
Wacana menciptakan kerukunan beragama semakin sering disuarakan. Berbagai aktivitas dengan tema terkait kerap di gelar. Baik di level lokal, nasional maupun internasional. Topik yang diangkat tidak jauh berbeda, yakni masih seputar pencegahan ekstrimisme ataupun sikap intoleransi.
Namun sebenarnya apakah yang dimaksud dengan ekstrimisme dan intoleransi tersebut? Bahkan apa kaitannya dengan radikalisme? Apakah semuanya ada kaitannya dengan agama? Ataukah pada mulanya semua istilah di atas aslinya netral tanpa terkoneksi agama manapun?
Menarik untuk diperhatikan memang, pasalnya istilah yang awalnya netral bisa saja digunakan sebagai bahan amunisi perang istilah apabila dikait-kaitkan dengan agama tertentu. Definisi istilah yang aslinya biasa-biasa saja, bisa berganti makna menjadi sesuatu yang negatif bila dibumbui dengan tendensi khusus, terlebih bila berupa sentimen agama.
Sebagaimana diketahui ada kesan bahwa aktivitas ekstrimisme ataupun intoleransi sering diarahkan pada agama Islam. Seakan ada tudingan bahwa kemunculan aktivitas demikian bermula dari kesalahan dalam memahami ajaran IsIam. Hingga akhirnya tak sedikit yang berujung menimbulkan Islamophobia.
Terlebih Barat terbaca lancar sekali melakukan jebakan istilah. Keinginan Barat agar mayoritas pendapat mereka diikuti, membuat mereka tak patah arah untuk melakukan pembelokan makna. Lebih ekstremnya Barat dinilai tak segan melakukan kriminalisasi sejumlah ajaran Islam.
Apa yang mereka benci diframing negatif. Melalui jaringan media pro Barat, framing itu menyebar, masuk ke benak banyak orang tak terkecuali muslim. Ujungnya tak sedikit muslim yang terperdaya dan malah takut dengan istilah atau ajaran yang berasal dari agamanya sendiri.
Pun bila strategi seperti di atas kurang sukses, maka mengacaukan pemahaman istilah dalam ajaran Islam juga mereka tempuh. Mereka buat konsep Barat yang tidak pas seakan-akan ada dalam ajaran Islam. Tujuannya agar konsep mereka bisa diterima karena dianggap ada padanannya dalam Islam. Misalnya istilah demokrasi dan musyawarah mufakat, istilah jalan tengah dengan moderat (menerima konsep Barat), dll.
Jika dua cara mengotak-atik istilah di atas masih kurang juga memberikan pengaruh, maka Barat juga biasa memunculkan istilah baru. Yang mana istilah tersebut akan mereka puja puji seolah-olah sebagai hal benar, sedangkan selainnya tidak benar. Yang paling hangat adalah konsep Islam Moderat. Moderat menurut mereka baik, karena tidak anti dengan Barat. Sedangkan jika tidak moderat, langsung saja mereka labeli antonimnya, radikal.
Lantas di mana ruang diskusi bagi yang tidak menginginkan moderat atau radikal? Apakah haluan beragama otomatis langsung terkanalisasi pada dua kelompok itu saja? Padahal tidak selamanya yang tidak suka Barat itu radikal. Dan radikal pun aslinya tidak selalu bermakna membenci Barat atau memiliki sifat keras pada Barat atau memiliki kaitan dengan ekstrimisme sebagaimana yang ditudingkan.
Jika dua kanal ini saja yang dipakai, maka dari sisi tubuh umat Islam sendiri bisa terpecah. Persatuannya bisa retak hanya karena kotak-kotak istilah. Padahal dalam Islam sendiri, perbedaan itu ada dan diakui. Selama tidak menyangkut hal dasar yang membutuhkan kepastian dalil seperti perkara keyakinan, maka ada ruang ijtihad disana. Artinya boleh terdapat beda pendapat, termasuk dalam menyikapi konsep kekinian yang belum ditemukan di masa lalu.
Tidak bisa serta merta jika hasil ijtihad nya berbeda pendapat dengan yang diopinikan Barat maka dicap tidak moderat, tidak bisa juga bila yang kebetulan hampir seirama dengan konsep Barat otomatis dibilang moderat. Maka dari sini, jebakan istilah ini perlu diwaspadai. Terlebih jika tujuan terselubungnya adalah berupaya membelokkan lurusnya ajaran Islam.
Kendati mereka terus menyebarkan melalui para kompradornya, umat harus tetap waspada. Jangan sampai terkecoh dengan jebakan istilah yang sengaja disiapkan. Sebab jika jebakan itu berhasil tentu mereka merasakan manfaat berupa semakin lambatnya kesadaran umat untuk membangkitkan Islam. Dan jika ini terjadi sama artinya Barat dan konsepnya semakin langgeng mewarnai kaum muslimin.
Maka umat harus tercerahkan dengan murninya definisi istilah Islam. Sampai umat menjadi paham dan sangat yakin dengan kebenaran konsep IsIam. Umat harus dibuat bangga dengan ajarannya sendiri dengan edukasi yang kontinyu. Hingga akhirnya umat tidak tergiur jebakan istilah dari Barat, tetapi justru lebih sadar untuk menerima dan menyebarkan kebenaran IsIam dengan semangat.[]