Oleh : Tri S, S.Si
Harga mayoritas pangan mengalami kenaikan menjelang Natal dan tahun baru (Nataru). Kenaikan harga terjadi pada beras, telur ayam hingga bawang merah dan bawang putih. Berdasarkan data situs Panel Harga Badan Pangan Nasional, Rabu (14/12/2022), harga beras premium naik 0,23 persen jadi Rp12.930 per kilogram (kg) jika dibandingkan seminggu lalu atau tepatnya Rabu (7/12/2022). Harga beras premium juga naik 0,18 persen jadi Rp11.360 per kg. Selanjutnya, harga kedelai naik 0,34 persen jadi Rp14.780 per kg. Kemudian, harga bawang merah naik 0,91 persen jadi Rp35.310 per kg, sedangkan harga bawang putih naik 0,70 persen jadi Rp25.720 per kg. Adapun, harga jagung peternak naik 1,25 persen jadi Rp5.670 per kg. Kemudian, harga daging ayam ras naik 0,17 persen jadi Rp35.170 per kg, telur ayam ras naik 0,60 persen jadi Rp30.050 per kg (bisnis.com, 14 Desember 2022).
Indonesia merupakan negeri yang dianugerahi Allah dengan lahan yang subur, kekayaan alam berlimpah, komoditas pangan yang sangat beragam. Indonesia juga dianugerahi kekayaan harta milik umum berupa tambang, hutan, laut, dan sebagainya. Namun sebuah fakta yang tak terbantahkan mengungkap bahwa harga beras Indonesia tidak pernah stabil dan cenderung terus meningkat. Lembaga riset maupun masyarakat awam mengetahui dengan cermat kenaikan setiap rupiahnya.
Menurut Bank Dunia, harga beras di Indonesia selama satu dekade terakhir secara konsisten adalah yang termahal dibandingkan negara Kawasan Asia Tenggara (ASEAN) lainnya. Harga beras Indonesia 28% lebih mahal dari Filipina, bahkan dua kali lipat dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Namun, Kepala BPN Arief Prasetyo Adi membantahnya. Ia mengatakan bahwa harga beras Indonesia telah sesuai dengan daya beli masyarakat. Menurutnya, yang penting dalam hal ini adalah daya beli masyarakatnya, bukan dinilai dari harganya. Kemudian data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pun menyatakan bahwa harga beras Indonesia tergolong murah.
Data dari Bank Dunia diatas, sebetulnya mengonfirmasi bahwa negara gagal menyejahterakan rakyatnya. Karena tingginya harga bahan pangan pokok menjadi salah satu indikasi bahwa negara tersebut tidak sejahtera. Sebenarnya, perbedaan data antara lembaga riset ini pasti ada kepentingan di balik riset-risetnya. Hanya saja, riset ini akan sangat bernilai apabila ditujukan untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.
Sebagai bahan pangan utama masyarakat, sangat sensitif jika harga beras mengalami fluktuasi. Harga beras periode September 2019-Maret 2020 mengalami kenaikan rata-rata 1,78 persen, demikian catatan dari BPS. Harga pangan semakin hari semakin naik. Bukan hanya beras, melainkan juga pangan pokok lain, seperti telur, minyak, dsb. Belum lagi kebutuhan hidup, seperti pulsa, air, listrik, dan BBM, semua mencekik. Menilik pernyataan Kepala BPN Arief terkait daya beli masyarakat, patut untuk kita telaah. Karena faktanya, masyarakat makin tidak mampu membeli pangan lengkap dan sehat. Meskipun Badan ketahanan pangan kementerian pertanian (BKP Kementan) telah menyiapkan SNI wajib untuk penjualan beras, namun selama ini diketahui bahwa label SNI pada beras kemasan masih bersifat sukarela. Sehingga SNI ‘beras sukarela’ yang beredar di pasar tidak memiliki kualitas yang baik dan tidak dijamin oleh negara.
Dengan mahalnya bahan makanan ini, tak ayal membuat masyarakat berpatokan asal bisa makan tanpa memperhatikan kualitas pangan yang dikonsumsinya. Melihat tingkat kemiskinan masyarakat yang makin tinggi, menyebabkan banyak keluarga lebih memilih bahan pangan murah. Para ibu lebih memilih membeli bahan makanan karbohidrat tanpa terfikir untuk membeli makanan yang mengandung protein atau lemak, apalagi membeli buah dan susu. Pada akhirnya, nutrisi keluarga tidak terpenuhi, ibu anemia, para bayi berisiko stunting, hingga anak-anak usia sekolah jadi lambat berpikir. Semua ini terjadi akibat kondisi kurang gizi karena ketahanan pangan sehat yang tidak lancar.
Masalah tingginya harga pangan dan turunnya daya beli masyarakat ini tidak bisa terlepas dari kebijakan pemerintah yang mengabaikan rakyat. Hal ini karena penerapan sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi oleh pemerintah. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan produktivitas pangan sangat tergantung pada korporasi bahkan impor. Dan ini berakibat sangat rendahnya penguasaan negara terhadap cadangan dan stok pangan.
Kebijakan intensifikasi pertanian sebagai upaya menggenjot hasil pertanian, malah membuat lesu produktivitas pertanian. Pengurangan subsidi pada pupuk, benih, dan saprodi jelas membuat ongkos produksi jadi makin mahal. Pada saat yang sama, kebijakan impor pangan malah dibuka lebar-lebar. Kebijakan ekstensifikasi pertanianpun juga demikian. Alih fungsi lahan pertanian besar-besaran untuk pemukiman real estate, ataupun pembangunan jalan dan kawasan industri, malah makin masif. Inilah penyebab menurunnya produksi pangan.
Maka sudah wajar jika harga pangan lokal kalah bersaing dari harga pangan impor. Hal ini menjadikan petani kurang berminat untuk bercocok tanam. Jika penurunan produksi pangan terus terjadi, maka ketersediaan panganpun turut berkurang. Dan ini bisa menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan. Selain hal tersebut diatas, pada aspek distribusi, kebijakan yang dilandasi sistem ekonomi kapitalisme hanya berfokus pada produksi, sedangkan distribusinya diserahkan pada mekanisme pasar.
Tak ayal pasar dan harga pangan di sistem kapitalisme saat ini menjadi tempat “bermain” para spekulan akibat pemerintah tidak hadir mengurusi. Distribusi dalam kapitalisme, uang menjadi pengendali tunggal. Sehingga pangan hanya akan mengalir lancar pada orang mampu, tetapi tidak pada kaum miskin. Belum lagi adanya mafia beras yang mana pemerintah belum bisa memberantasnya. Padahal mereka telah menambah penderitaan rakyat.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, dimana semua kebijakan akan dijalankan oleh pemerintah yang amanah, yakni Khilafah. Sebab hanya Khilafah yang sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai pelayan serta pelindung rakyat, yang berdiri di atas hukum syara yang seluruh kebijakannya akan berfokus pada kemaslahatan umat. Kebijakan yang akan diambil oleh khalifah berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam (QS Al-A’raf: 96), dimana jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, maka Allah SWT akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.
Akan tetapi, jika penduduk tersebut mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah diantaranya, Khilafah akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat secara individual baik pangan, papan, maupun sandang. Kebijakan selanjutnya adalah menyantuni masyarakat yang sakit, cacat, tua, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhannya. Sementara bagi masyarakat yang mampu untuk bekerja, Khilafah akan menciptakan lapangan kerja, membantu permodalan, hingga memberikan edukasi dan skill yang dibutuhkan. Selain itu negara akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam.
Dalam faktor pertanian pangan, Khilafah Islam akan memastikan produksi pangan berjalan di bawah pengaturannya, di antaranya menerapkan hukum kepemilikan tanah pertanian yang syar’i, menyediakan saprodi pertanian bagi petani, menyediakan infrastruktur pendukung, dsb., Sementara di aspek distribusi, Khilafah akan membuat mekanisme untuk mengontrol pasar. Yaitu regulasi untuk mengawasi para penjual dan pembeli. Di antaranya dengan melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dsb., disertai penegakan hukum yang tegas sesuai sanksi Islam.
Maka kebijakan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) sajalah yang mampu mengurusi permasalahan umat. Sebab hanya Khilafahlah yang dapat menyejahterakan penduduknya dengan sebaik-baik pengurusan, sebagaimana firman Allah Taala bahwa suatu negeri akan sejahtera jika Islam diterapkan secara kafah. Wallahuallam bishowab.