Oleh: Dewi Nasukha
Penduduk Asia Pasifik 54 % diperkirakan hidup di bawah alam demokrasi. Namun permasalahan dalam demokrasi terjadi di seluruh dunia. Bali Democracy forum (BDF) beberapa waktu lalu menyoroti praktik demokrasi yang menunjukkan adanya kemunduran demokrasi.
Data dari International IDEA melaporkan bahwa demokrasi mengalami kemunduran atau stagnan, dan stagnan ini terjadi di negara-negara demokrasi yang sudah mapan sekalipun. Freedom House menyampaikan kemunduran demokrasi selama 16 tahun berturut-turut.
V-Dem Institute menyebutkan rata-rata kualitas demokrasi turun ke level 30 tahun yang lalu. Sekjen PBB Antonio Guterres dalam Bali Democracy Forum, menyampaikan: "Demokrasi mengalami kemunduran dan seluruh negara perlu bertanggung jawab untuk memperjuangkannya".
Nyatanya, pemilu di dunia muslim seperti di Mesir, Irak, Afganistan, dan Pakistan menunjukkan salah satu kelemahan mendasar dengan sistem pemerintahan demokrasi yang membuatnya tidak sesuai bagi negeri-negeri muslim. Sebab hal itu menghasilkan kelompok elit yang korupsi.
Sebagaimana Indonesia hari ini, dalam seremoni Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022 justru menjadi sarana evaluasi dan kontemplasi dalam perjalanan dan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Karena pamor Lembaga Antikorupsi itu terus turun. Citra KPK terekam berada di angka 57 %, paling rendah dalam lima tahun terakhir. Kepercayaan publik terhadap institusi ini jatuh, diduga tak terlepas dari perilaku insan di dalamnya. Baik bagi penegakan hukum, pemberantasan korupsi atau untuk membuat celah hukum, tetap tidak mampu menyelamatkan mereka yang terjerat kasus korupsi.
Telah jelas bahwa demokrasi tidak mampu memberikan solusi karena berbagai prinsip demokrasi justru kontradiksi dan gagal mewujudkan dunia yang sejahtera.
Sistem demokrasi kapitalis terbukti melahirkan berbagai macam kerusakan disebabkan adanya Kebebasan beragama, kepemilikan, berpendapat, dan berperilaku. Sedangkan korupsi adalah salah satu kerusakan dari paham kebebasan kepemilikan.
Dengan nilai-nilai kebebasan dan hedonisme. lingkungan masyarakat dengan budaya suap yang sudah menggurita. Faktor ideologis inilah yang terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi panutan dalam masyarakat, dan berkiblat kepada Barat.
Pemberantasan korupsi sungguh ide utopis, jika fakta ril kehidupan demokrasi menyerahkan pembuatan hukum kepada rakyat sesuai hawa nafsu manusia. Sebab itu akan menemui banyak hambatan, pertentangan dan permasalahan. Sehingga lahirlah berbagai kerusakan baik pada alam, manusia, maupun kehidupan itu sendiri.
Undang-undang yang dibuat oleh manusia, sering menjadikan pembuat UU menjadi pelaku korupsi. Karena pembuat UU akan membuat perangkat hukum yang membuat ia aman dan punya celah untuk melarikan diri dari jeratan hukum.
Penguasa dan kroni-kroninya akan menyelamatkan diri agar lepas dari jeratan hukum dengan hukuman yang lembut dan nyaman jika mereka tertangkap tangan melakukan korupsi. Semua itu menjelaskan bahwa demokrasi bertentangan secara total dengan Islam. Meski secara global tampak sama, namun dalam filosofi dan rincian prakteknya, demokrasi berbeda dengan sistem Islam.
Tentang pilar pertama demokrasi yaitu kedaulatan rakyat, dan pilar kedua, kekuasaan milik rakyat. Dalam hal ini, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum yang dibuat oleh rakyat. Rincian prakteknya, dalam demokrasi pelimpahan kekuasaan kepada penguasa dilakukan menurut teori kontrak sosial.
Penguasa 'bekerja' kepada rakyat sehingga diberi gaji.
Sedangkan dalam Islam kekuasaan dimiliki oleh rakyat dengan tolak ukur kebenaran yang diputuskan oleh nas-nas syariat.
Rakyatlah yang berhak memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dipilih rakyat sebagai penguasa melalui akad bai'at dari rakyat kepada penguasa. Kepadanya tidak diberi gaji melainkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya secara makruf. Sebab penguasa tersebut telah memberikan seluruh waktunya untuk mengurus rakyat.
Penguasa mewakili rakyat untuk mengimplementasikan hukum syariat.
Sebab Islam memerintahkan kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syara’. Untuk menegaskan bahwa sistem Islam harus diyakini kebenarannya karena datang dari Allah Zat yang Maha Benar dan nyata terbukti membawa kebaikan.
Dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah (5) ayat 44, 45, 47, dan 49, Allah menetapkan siapa saja yang memutuskan perkara dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, sebagai orang zalim dan fasik.
Dalam Al-Qur'an surah An-Nisa (4) ayat 65 dan surah Al-Maidah (5) ayat 48 menjelaskan; Islam mengaitkan seluruh aktivitas agar menjadikan Rasulullah sebagai pemutus perkara yang terjadi di tengah manusia, sebagai bukti keimanan.
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat, dengan sesat yang nyata. (QS Al-Ahzab (33): 36)