Oleh Siti Uswatun Khasanah
Korupsi bukan lagi barang baru di negeri ini. Kata korupsi sudah tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Dalam sistem demokrasi, korupsi seolah telah mengakar menjadi budaya. Masyarakat sudah tidak heran dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi negara, termasuk para aparat peradilan yang seharusnya berada di garda terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan di negeri ini. Kalau begini, pada siapa lagi masyarakat akan percaya?
Berbagai upaya telah dilakukan oleh KPK dalam mengatasi permasalahan ini. Namun berbagai solusi tak mampu mengatasi kasus korupsi yang membeludak ibarat gunung es. Apa yang sebenarnya terjadi pada negeri ini? Apa yang harus dilakukan untuk mencabut akar budaya korupsi?
Dikutip dari www.bbc.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang hakim yustisial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. EW langsung ditahan lembaga antirasuah itu pada hari Senin (19/12).
Salah satu contoh kasus di atas merupakan bukti bahwa korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah. Hal ini menandakan lemah dan rusaknya sistem hukum negeri ini yang membuka celah bahkan mentoleransi korupsi. Terlebih lagi adanya anggapan bahwa OTT (Operasi Tangkap Tangan) merusak citra bangsa.
Dikutip dari tirto.id, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangap Tangan (OTT). Sebab, OTT merusak citra negara Indonesia.
Luhut meminta agar KPK memperbaiki kinerjanya, Luhut tidak ingin KPK lebih sering melakukan OTT dan berupaya toleran. Luhut mengatakan digitalisasi dalam penanganan korupsi merupakan kunci kemajuan Bangsa. Hal ini disetujui oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Eks ketua Mahkamah Konstitusi itu menilai digitalisasi lebih baik daripada pelaksanaan OTT yang kerap menghebohkan publik.
Menurut Mahfud MD malalui akun instagramnya, daripada kita selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tak ada celah korupsi.
Namun, pernyataan Luhut ini menuai kritik dari berbagai pihak. Peneliti PUKAT UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai, pernyataan Luhut bersifat kontraproduktif dan tidak baik bagi pemberantasan korupsi. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai, pernyataan Luhut sebagai bukti eks menkopolhukam itu toleran dengan aksi korupsi dan berbahaya bagi Indonesia.
Sementara itu, Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani malah meminta agar Luhut mengkritik langsung Presiden Jokowi. Ia beralasan, Jokowi lah yang mendorong revisi Undang-undang KPK hingga menempatkan pimpinan KPK.
Pemberantasan korupsi laksana mimpi melihat berbagai pembelaan terhadap koruptor. Demokrasi memang sistem ramah korupsi, suatu hal yang aneh petinggi negara dalam sistem demokrasi tidak melakukan korupsi. Sebabnya korupsi memanglah budaya dalam sistem demokrasi.
Sistem demokrasi yang lahir dari ideologi sekuler kapitalis akan melahirkan para pemimpin yang berorientasi kapitalis serta menghalalkan segala cara yang haram untuk mendapatkan uang, termasuk dengan cara korupsi.
Kita semua tahu, bahwa korupsi merupakan tindakan jahat yang merugikan negara. Sistem demokrasi yang diemban berbagai negara telah melahirkan peradaban ramah korupsi padahal ini bukan lagi masalah kecil. Korupsi merupakan masalah sistemis yang memang harus dibongkar secara sistem. Tak cukup pencegahan dengan digitalisasi seperti yang diinginkan oleh Pak Luhut, juga tak cukup dengan tindak OTT yang selama ini dilakukan oleh KPK. Untuk memberantas korupsi perlu adanya pengawasan ketat, perlu pencegahan tersistematis dan juga sanksi yang memberikan efek jera bagi pelaku.
Pemberantasan korupsi tak cukup dengan menyerahkan semua permasalahan korupsi pada KPK saja, sebab korupsi ini merupakan masalah tersistem. Perlu disadari bahwa akar masalah korupsi ini adalah masalah sistem. Kebobrokan sistem demokrasi telah memberikan peluang besar untuk melakukan korupsi. Selama sistem demokrasi masih ditegakkan, selama kapitalisme dan sekularisme masih mengakar, pemberantasan korupsi hanyalah mimpi di siang bolong.
Untuk mengatasi akar masalah ini, harus dituntaskan secara tersistem. Sistem hukum harus segera diperbaiki, dari sistem hukum yang lemah menuju sistem hukum yang kuat. Maka demokrasi, sekularisme dan kapitalisme harus segera dicabut hingga akar dan diganti dengan penegakan Islam secara kafah.
Sistem Islam kafah memiliki sistem hukum yang kuat untuk mencegah terjadinya korupsi dan memberikan sanksi yang memberikan efek jera. Sistem Islam akan melahirkan pemimpin yang jujur dan bertakwa. Sistem Islam menerapkan Al-Qur’an dan sunah secara sempurna. Kedaulatan pada sistem Islam ada pada hukum syara’, maka hanya Allah melalui hukum syara’ yang berhak mengatur manusia.
Sistem Islam akan berupaya untuk menjaga keimanan masyarakat dan juga pejabat negara, sehingga perilaku jahat seperti korupsi ini akan mampu dicegah dengan menanamkan ruhiyah Islam pada individu Muslim. Maka penegakan hukum Islam secara kafah merupakan urgensi dalam kehidupan umat hari ini. Selain itu penerapan hukum Islam secara kafah juga merupakan kewajiban.
Wallahu a'lam bishawwab