Oleh: Hanifah Afriani
Melaksanakan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Tak heran, umat muslim yang sudah mampu berbondong-bondong untuk mendaftarkan dirinya menjadi calon jamaah haji Indonesia reguler maupun haji plus.
Namun sayang, ada kabar kurang mengenakan, beberapa hari terakhir, pemerintah mengusulkan adanya kenaikan biaya haji hampir 2 kali lipat.
Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta.
Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.
Secara akumulatif, komponen yang dibebankan pada dana nilai manfaat sebesar Rp5,9 triliun.
"Tahun ini pemerintah mengusulkan rata-rata BPIH per jemaah sebesar Rp98.893.909, ini naik sekitar Rp514 ribu dengan komposisi Bipih Rp69.193.733 dan nilai manfaat sebesar Rp29.700.175 juta atau 30 persen," kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks MPR/DPR, Senayan Jakarta, Kamis (19/1).
Artinya, biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta.
Yaqut beralasan kebijakan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan (cnnindonesia, 20/01/2023)
Tampak dalam sistem kapitalisme pengurusan pelayanan ibadah haji hanya berorientasi pada bisnis. Bagaimana tidak, harusnya umat Islam dipermudah bahkan diringankan biayanya, bukan malah diberatkan dan dipersulit.
Kenaikan biaya haji tahun ini hampir 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Tentu ini sangat memberatkan umat Islam. Belum lagi antrean haji yang begitu lama sampai belasan tahun.
Sistem kapitalisme menjadikan yang bermodal berkuasa. Menjadikan asas manfaat sebagai tolak ukur, maka tidak heran sistem yang dilahirkan olehnya menjadikan semuanya ladang bisnis, termasuk ibadah.
Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang bernama khilafah. Sistem ini mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk perkara ibadah di dalamnya. Seorang khalifah pemimpin negara bertanggungjawab penuh terhadap rakyatnya.
Pemimpin sebagai pelayan dan pelindung rakyatnya. Meriayah rakyat dalam sistem Islam bagi pemimpin adalah tugas yang wajib. Bukan perkara bisnis mencari keuntungan. Ini adalah kewajiban yang kelak nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Terkait dengan ibadah haji, khilafah akan memastikan warga negaranya yang berhaji agar syarat dan rukunnya terpenuhi dengan baik. Tidak hanya itu perkara administrasi dan teknis akan dipermudah.
Khilafah akan mengambil kebijakan berupa:
1. mengurus departemen haji dan umroh dari pusat hingga ke daerah
2. Ongkos naik haji (ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti dalam sistem kapitalis. Melainkan dihitung berdasarkan dekat jauhnya wilayah para jamaah dengan tanah haram (Mekah-Madinah)
3. Menghapuskan visa haji dan umrah. Sebagai kesatuan negara muslim, khilafah akan memberikan kemudahan kepada para jamaah hanya menunjukkan KTP atau paspor saja. Visa hanya berlaku bagi kaum muslim yang menjadi warga negara kafir harbi hukman maupun fi'lan.
4. Pengaturan kuota haji dan umrah. Khilafan akan menggunakan database warganya untuk menentukan urutan prioritas haji dan umrah. Khilafah akan memperhatikan 2 hal, pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini hanya berlaku bagi yang memenuhi syarat dan mampu.
5. Pembangunan infrastruktur kota Mekah Madinah yang akan mempermudah para jamaah.
Hanya sistem Islam yang akan mampu menjadikan ketenteraman, kemudahan, keamanan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Termasuk perkara ibadah di dalamnya.
Tags
Opini