Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial dan Keluarga
Kabar tragis dan miris kembali menggores luka, khususnya terhadap kita kaum hawa. dilansir oleh VOAIndonesia, seorang siswa sekolah dasar berusia enam tahun menembak dan melukai seorang guru dalam pertengkaran sekolah di SD Richneck, Kota Newport News, Virginia, AS. Meski tidak ada korban jiwa, namun seorang guru perempuan berusia 30 tahun menderita luka yang mengancam jiwa.
Dalam kasus ini memang belum diketahui dengan jelas apa yang menjadi pemicu kejadian tragis ini. Ada banyak kemungkinan penyebabnya. Bisa jadi karena keteledoran ibunya dalam menyimpan senjata api tersebut sehingga anak ingin mencoba menggunakannya. Atau bisa jadi juga karena anak sudah terpapar dengan kekerasan sejak lama, baik di dalam rumah maupun lingkungan luar termasuk salah satu diantaranya adalah interaksinya dengan game.
Dan menjadi salah satu hal yang jamak dalam masa sekarang, keberadaan game-game yang berisi konten kekerasan, bahkan bisa diibaratkan sebagai tutorial tindak kekerasan menggunakan pistol.
Dalam konteks kebebasan dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dalam masyarakat hari ini, keberadaan game dengan segala macam jenisnya, termasuk yang mengandung konten kekerasan, yang tidak layak dikonsumsi oleh anak di bawah umur, wajar ditemukan di mana saja, dan bahkan dapat diakses secara gratis oleh siapa saja yang bisa mengakses internet.
Bahkan, banyak pihak penyedia game yang berlepas tangan dengan berdalih sudah memberikan peringatan akan adanya konten berbahaya di dalamnya, termasuk batasan usia yang boleh mengakses.
Dalam sistem kehidupan kapitalis sekuler seperti saat ini, ketika keuntungan materi menjadi tujuan, maka segala macam potensi bahaya dan kerusakan yang akan menimpa masyarakat tidak menjadi perhatian.
Mekanisme pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya, maka game yang berbahaya pun masih tetap dapat diakses oleh anak yang belum cukup umur. Jadilah konten kekerasan terekam dalam benak anak yang masih polos ini. Dan ketika ada pemicunya –misalnya pertengkaran dengan guru- memicu reaksi seperti tontonan dalam game.
Faktor lain yang juga mungkin terjadi, adalah pengaruh dari pengasuhan dan lingkungan sekitar. Terlebih, dengan belum matangnya proses berpikir, semua yang biasa dilihat akan dengan mudah tertanam dalam benak. “Istilah children see children do menjelaskan hal ini.
Oleh karena itu, maraknya game dengan konten kekerasan dan hal lain yang tidak mendidik, seharusnya disadari oleh negara sebagai hal yang merusak dan membahayakan masa depan anak. Negara harus bergerak untuk menutup dan melarang semua game yang membahayakan dan berpotensi merusak fitrah anak.
Anak harus senantiasa berada dalam lingkungan yang membangun kesadarannya sebagai hamba Allah yang lemah dan menguatkan keimanannya kepada Allah. Lingkungan kondusif ini, lanjutnya, tidak cukup hanya dalam keluarga saja, tetapi juga dari masyarakat dan pengaturan negara. Wallahu a’lam bi ash showab.