Utopis Berharap Kemandirian Pangan dalam Sistem Kapitalis



Oleh: Muflih Khofifah



Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris dengan lahan pertanian yang luas, iklim yang mendukung, dan banyaknya petani yang profesional ternyata tidak mampu melakukan swasembada pangan secara berkesinambungan. Bahkan masih bergantung dengan impor.

Terbukti meski pemerintah sudah menggaungkan swasembada pangan selama kurang lebih tiga tahun, justru selama enam bulan terakhir ini mengumumkan niat untuk impor beras. Dengan alasan cadangan beras pemerintah di Perum (Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik) Bulog tidak mencukupi untuk target stok sebanyak 1,2 juta ton. (26/11/2022) Katadata. Com

Berbagai alasan juga diungkapkan oleh para pejabat terkait, mulai dari rendahnya serapan Bulog terhadap beras petani, harga pasar yang tinggi sehingga menyebabkan petani lebih senang menjual berasnya ke luar pulau, juga kegagalan-kegagalan pemerintah dalam mewujudkan lumbung pangan untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri. (24/November/2022) harianterbit. Com

Padahal Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan lahannya lebih luas daripada Thailand dan Vietnam untuk memenuhi kebutuhan pangannya, namun masih harus mengimpor ke negara yang justru lahannya lebih sempit daripada Indonesia.

Jadi sebenarnya negeri ini belum memiliki kemandirian pangan alias masih bergantung dengan hasil pangan negara lain. Bukankah katanya negeri ini di juluki Gemah Ripah Loh Jinawi yang artinya negeri tentram dan makmur subur tanahnya? Mengapa ini terjadi?

Sadar atau tak disadari kebijakan pangan dalam negeri ini tidak terlepas dari adanya kepentingan oligarki para kapitalis. Misalnya, untuk kesuksesan lumbung pangan, dibutuhkan pupuk yang murah, benih yang berkualitas, dan fasilitas serta sistem pendukung lain yang memudahkan petani untuk produktif.

Namun nyatanya, untuk memenuhi itu semua, pemerintah justru lebih berorientasi pada keuntungan pihak tertentu. Terkait impor juga sangat rentan dengan kebijakan yang beraroma politis nuansa korupsi, yang tentunya sudah menjadi rahasia umum. Yang intinya ketika kita mau membuka mata, kita akan tahu tidak sedikit kebijakan pemerintah juntru tidak memihak para petani kecil. Salah satunya yaitu kebijakan lumbung pangan yang disinyalir justru menguntungkan pihak oligarki tertentu. Selain itu adanya kebijakan ini juga membolehkan membuka dan memanfaatkan hutan lindung yang justru akan merusak ekosistem alam dalam jangka panjang. Inilah hasil dari sistem yang mengagungkan kemanfaatan belaka yaitu kapitalisme demokrasi. 

Dengan demikian, 
Selama negeri ini masih menganut sistem kapitalisme demokrasi dalam pengambilan kebijakan dan peraturan, maka kebijakan-kebijakan yang ada akan pasti lebih menguntungkan pihak-pihak kapitalis daripada berpihak pada masyarakat penuh keadilan dan kebenaran.

Berbeda halnya dalam islam yang memiliki institusi negara yaitu khilafah yang mengatur segala lini kehidupan dengan sistem islam, termasuk dalam kebijakan pangan, khilafah akan menciptakan kemandirian pangan dengan mendorong masyarakat menguasai penguasaan sektor industri vital oleh negara yaitu seperti pertanian, perikanan, farmasi, transportasi, telekomunikasi, infrastruktur, teknologi, dan sebagainya. Semua itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat. 

Seluruh aspek industri, terutama dalam bidang pangan, dibangun dengan paradigma kemandirian. Tidak akan bergantung kepada asing. 

Berdasarkan hal ini,  kepala negara islam bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan menentukan arah politik pangan dan menjalankannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai tuntunan syariat. Pun kebijakan yang dibuat tidak menyengsarakan rakyat dengan membisniskan layanan kepada rakyat.

Namun, untuk mewujudkan hal ini, butuh kepemimpinan yang memiliki kepribadian islami serta pemimpin yang menerapkan islam secara praktis dan menyeluruh. Sehingga semua kebijakan pangan pun tidak akan luput dari hukum syariah islam. 

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad). 

Wallahu'alam Bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak