Tradisi Manjapuik Laki-Laki dalam Pernikahan Adat Pariaman



Oleh:  Murdiana

(Mahasiswi Pascasarjana UIN Bukittinggi Sumbar)

Pariaman di zaman lampau merupakan daerah yang cukup dikenal oleh pedagang bangsa asing semenjak tahun 1.500-an. Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Pariaman adalah satu dari daerah di ranah Minangkabau yang mempertahankan adat ‘membeli lelaki’ dalam pernikahan. Membeli dengan sejumlah uang ini kerap disebut ‘uang jemputan’ yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Adat ini hanya dianut Pariaman, sedang di daerah lain seperti Payakumbuh, Bukittinggi, dan Solok tidak menganut adat ini. Uang jemputan yang dimaksud tersebut bukanlah mahar seperti pernikahan di India sana, tetapi merupakan biaya yang dikeluarkan pihak perempuan untuk membawa lelaki itu tinggal di keluarga pihak perempuan. Tradisi tersebut disebut dengan tradisi bajapuik.

Tradisi bajapuik adalah budaya orang Minang dalam perkawinan. Orang Minang menganut sistem matrilineal di mana garis keturunan ditarik dari keturunan ibu (perempuan). Posisi laki-laki dalam rumah gadang berada pada posisi sebagai 'pendatang', lebih dikenal dengan urang sumando. Karena laki laki sebagai tamu, maka pihak perempuan akan menjemput pihak laki-laki agar datang ke rumah gadang dan menjadi bagian dari keluarga besar. Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja melainkan juga orang tua kedua belah pihak dan keluarga-keluarga besarnya masing-masing.

Dalam perkawinan di masyarakat Pariaman disebut dengan manjapuik marapulai atau menjemput pengantin pria. Pada umumnya tata cara dalam ritual manjapuik marapulai berbeda-beda di setiap daerah di Sumatra Barat. Tak terkecuali untuk daerah Pariaman, di Pariaman tradisi manjapuik ini cukup unik karena diikuti dengan tradisi bajapuik dimana pihak perempuan memberikan sesuatu kepada pihak laki-laki berupa uang japuik atau uang jemput dan uang hilang.

Kebanyakan uang japuik ditentukan dari status sosial marapulai. Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat. Ukuran status sosial ditentukan dengan gelar laki-laki yang diperoleh dari ayah, yakni apakah bergelar sidi (saidina/orang alim), sutan (sultan), dan bagindo (baginda) serta uang japuiknya berupa emas, seekor kuda dan barang-barang yang bernilai pada masa itu.

Saat ini tolak ukur status sosial bukan lagi berpatokan kepada tiga gelar tersebut, melainkan dari profesi marapulai seperti profesi dokter dan polisi lebih tinggi nilai uang japuiknya daripada tukang becak dan tukang ojek dan pendidikan sarjana juga lebih tinggi nilai uangnya daripada yang hanya pendidikan SMA. Artinya, semakin tinggi status sosial seseorang maka semakin besar uang japuik yang akan diterima.

Kabarnya, tradisi bajapuik bermula saat Pariaman menjadi daerah pertama di Sumatera Barat yang menerima kehadiran ajaran agama Islam. Maka tak heran bila adat Minangkabau banyak bersumber dari kitab Al-Qur’an. Pepatah Minang bertutur, adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang berarti seluruh adat Minang bersendikan syariat Islam. Jadi, tradisi masyarakat Pariaman ini terinspirasi dari kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah. Saat itu, Khadijah memberikan sejumlah hartanya kepada Rasulullah untuk menghormati dan mengangkat derajat beliau.

Selama ini, ada sedikit kesalahpahaman akan tradisi bajapuik karena sebutan ‘membeli’ lelaki. Padahal, tradisi ini tidak ada maksud merendahkan atau membeli seseorang. Justru, uang japuik telah menjadi budaya masyarakat Pariaman dalam memuliakan atau meninggikan derajat mempelai lelaki.

Tradisi ini menyimpan makna mendalam, pihak perempuan menghargai keluarga pihak lelaki yang telah melahirkan, merawat, dan mendidik sang lelaki karena sebentar lagi ia akan menikah dan meninggalkan rumah. Pasalnya, seorang lelaki biasanya menjadi tumpuan harapan dari keluarganya. Saat menikah, ia harus beralih menjadi tumpuan harapan keluarga perempuan.

Pada prakteknya, pihak perempuan memang memberikan sejumlah uang kepada pihak lelaki. Kemudian, uang japuik akan dialokasikan untuk membiayai keperluan selama prosesi pernikahan Namun, pada tradisi Manjalang Mintuo seusai pernikahan, pihak lelaki akan mengembalikan uang japuik yang sebelumnya diterima dari pihak perempuan.

Pihak lelaki akan mengembalikannya dalam bentuk perhiasan kepada sang istri atau anak daro. Bahkan biasanya, nilai perhiasan tersebut akan melebihi jumlah uang japuik sebelumnya. Hal ini merupakan bentuk bentuk penghormatan dari pihak lelaki atas pemberian uang japuik.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak