Rusia Melarang LGBT, Indonesia Kapan?



Penulis: Nuraisah Hasibuan S.S.



Kontroversi LGBT memanas di Piala Dunia Qatar usai perang ban kapten (armband) antara pendukung LGBT dan pihak yang anti LGBT. Polemik ini semakin meluas pasca Presiden Rusia Vladimir Putin mengesahkan undang-undang anti LGBT pada Senin (5/12-2022). Dimana semua bentuk propaganda LGBT dilarang di Rusia, termasuk larangan kampanye LGBT  di publik, internet, film, buku, ataupun di iklan.

Tidak main-main, dendanya sebesar 400.000 ribel atau sekitar Rp. 103 juta untuk individu yang melanggar undang-undang ini. Sementara bagi lembaga atau organisasi yang melanggar, dikenakan denda hingga 5 juta ribel atau setara Rp. 1,2 miliar. Dan apabila propaganda itu dilakukan oleh warga asing, orang tersebut akan ditangkap selama 15 hari dan dideportasi dari Rusia.

Bulan lalu saja, aplikasi berbagi vidio Tiktok sudah kena denda 3 juta ribel karena mempromosikan vidio bertema LGBT.
Penolakan terhadap LGBT sebenarnya sudah pernah disahkan Putin pada tahun 2013 dengan undang-undang bernama Gay Propaganda Law. Namun undang-undang tersebut sekedar melarang segala bentuk promosi LGBT bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun. Tetapi, alih-alih menekan angka LGBT, komunitas ini justru mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat di kota- kota besar di Rusia seperti Moscow dan Saint Petersburg, dimana bermunculan organisasi-organisasi LGBT, Gay Club, ruang publik khusus LGBT, dan berbagai kegiatan publik yang para pegiatnya adalah LGBT.

Akhirnya kini, pelarangan LGBT kembali dipertegas Presiden Putin dengan meneken pengesahan UU anti LGBT. Dengan tegas Putin mengatakan LGBT tidak akan diterima selama ia menjadi presiden di Rusia. Putin telah lama menganggap kehidupan LGBT sebagai pengaruh buruk Barat ke dalam masyarakat dan nilai-nilai tradisional Rusia. Yang mana warga Rusia yang mayoritas beragama Kristen Ortodoks juga warga beragama Islam sama-sama menentang keras LGBT. Tak tanggung-tanggung, propaganda LBGT di hadapan publik disetarakan dengan tindakan kriminal.

Lalu bagaimana dengan Indonesia yang hingga saat ini belum memiliki undang-undang yang tegas terkait pelarangan LGBT? Padahal penduduk Indonesia sebagian besar memeluk Islam, yang notabene mengharamkan segala hal terkait LGBT. Memang, di Indonesia pegiat LGBT tidak diizinkan menikah secara resmi sesuai dengan UU perkawinan tahun 1974, namun aktivitas sesama jenis dilegalkan dan tidak dianggap sebagai tindakan kriminal. Selama itu tidak dilakukan pada anak kecil.

Transgender juga boleh mengubah jenis kelamin dengan syarat tertentu. Adanya transgender dianggap sebagai fenomena yang muncul akibat perkembangan budaya di masyarakat. Maka, selama mereka tidak membahayakan tatanan kehidupan sosial dan moral masyarakat, tidak perlu ada hukum khusus mengenai keberadaan mereka.
Beginilah ketika segala sesuatu dilihat hanya dilihat dari permukaan saja. Kerusakan hanya dinilai sebatas  kericuhan fisik. Padahal dengan keberadaan LGBT saja, tatanan sosial dan akhlak masyarakat bisa hancur.

Dikhawatirkan juga, pelarangan LGBT yang tampak masih abu-abu ini justru menjadi lampu hijau bagi pendukung LGBT untuk menyerang balik. Mereka mengatakan bahwa pelarangan LGBT jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah diakui dalam UUD 1945. Mereka menuntut agar negara mengkampanyekan prinsip non diskriminasi terhadap seluruh warga negara Indonesia, baik laki-laki, perempuan, heteroseksual, homoseksual, dan juga transgender. 

Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait anti LGBT ini. Fatwa no. 57 tahun 2019 ini ditandatangani Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. Hasanuddin AF dan Sekretaris Komisi Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh. Beberapa poin dalam fatwa tersebut diantaranya mengatakan bahwa LGBT adalah penyimpangan. Haram hukumnya dan melakukannya merupakan tindakan kejahatan. Hukumannya berupa had sesuai nash dalam Al Quran dan juga ta’zir yang kadarnya diserahkan pada ulil amri atau pihak yang berwenang, bisa berupa penjara hingga hukuman mati.

Namun fatwa saja tampaknya tidak memiliki kekuatan hukum untuk menindak LGBT. Sementara pihak yang berwenang membuat hukum tak kunjung menetapkan hukum terhadap kaum pelangi ini. Ulil amri pun belum ada. Alhasil, LGBT terus saja menjadi polemik yang tak habis-habisnya.

Sangat kontras dengan penanganan Islam terhadap LGBT. Solusi yang ditawarkan tegas, simple dan solutif. Islam tidak memandang LGBT sebagai hak asasi manusia melainkan penyimpangan kodrat yang diberikan Allah SWT, hukumnya haram dan sepatutnya tidak ada ruang dalam masyarakat untuk keberadaan mereka. LGBT wajib diberangus bukan hanya pelakunya, tapi juga pemikirannya. 

Ada tiga langkah praktis yang diterapkan Islam dalam menuntaskan masalah LGBT. Pertama, ketakwaan individu. Ketakwaan ini harus sudah dibentuk sejak dini. Artinya pendikan awal dari keluarga dan sekolah haruslah pendidikan yang menguatkan akidah. Sehingga setiap anak tumbuh menjadi individu yang bertakwa. Yang ketika digempur oleh pemikiran rusak yang hanya mengedepankan hawa nafsu, mereka mampu membentengi diri dan tidak terpengaruh.

Kedua, adanya kontrol sosial dalam masyarakat. Seluruh anggota masyarakat memiliki satu pemahaman tentang keharaman LGBT. Sehingga ketika ada indikasi adanya bibit LGBT di tengah-tengah mereka, masyarakat sigap merespon dan melaporkan pada pihak yang berwenang. Tidak ada sikap pembiaran seperti layaknya masyarakat individualistis.
Dan ketiga, yang sangat penting adalah diterapkannya syariat Islam oleh negara. Mengapa? Karena hukum syara yang kita ketahui dan bahkan yang difatwakan oleh MUI hanya akan jadi teori semata jika tidak ada institusi negara yang menerapkannya. LGBT tidak akan gentar pada teori-teori. Mereka hanya akan takut jika sudah dijatuhi hukuman yang tak bisa ditawar-tawar.

Contoh dekat saja negara Brunei Darussalam. Ketika Sultan Hasan Bolkiah memberi hukuman cambuk bagi para LGBT, akhirnya para LGBT angkat kaki dari negeri itu. Namun karena bingung mau pergi kemana, akhirnya mereka kembali lagi ke Brunei dan bertobat. 
Begitulah keefektifan hukum syara, bukan hanya memberi efek jera bagi pelaku LGBT, namun juga jadi pencegah dan peringatan bagi yang lain supaya tidak melakukan kemaksiatan serupa. 

Jika Rusia yang 73% penduduknya beragama Kristen Ortodoks saja bisa memberlakukan hukum yang tegas bagi LGBT, maka seharusnya Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam lebih mungkin lagi menerapkan hukum syara atas LGBT dan juga hal lainnya.

Wallahu a’lam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak