Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Di tengah kemalangan yang menimpa sebagian masyarakat, seorang pejabat tertinggi di negeri ini telah melangsungkan pernikahan anaknya dengan hajatan dan resepsi yang begitu mewah. Tak hanya mewah, acara ini pun memanfaatkan sejumlah fasilitas negara untuk alasan keamanan.
Dua hari menjelang pernikahan putra bungsu Presiden Joko Widodo, yaitu Kaesang Pangarep, dengan Erina Gudono, jumlah petugas pengamanan bertambah menjadi 11.800 personel. Pasukan TNI-Polri tampak disiapkan di segala sisi Kota Surakarta, terutama di sekitar Rumah Dinas Wali Kota Surakarta, rumah kediaman Presiden di Sumber, Jalan Slamet Riyadi, dan juga Puro Mangkunegaran.
”Total yang kami libatkan, untuk TNI ada 9.600 personel. Tetapi, total dengan Polri yang ada di bawah pengamanan terpadu Pam VVIP ada 11.800 orang,” kata Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa saat mengecek pengamanan di ring 1, ring 2, dan ring 3 area Loji Gandrung, Surakarta, yang merupakan rumah dinas Wali Kota Surakarta di Jalan Slamet Riyadi, Surakarta, Kamis (8/12/2022).
Selain ribuan personil petugas keamanan diturunkan, anjing pelacak K-9, penggunaan ratusan CCTV serta telepon genggam, serta sejumlah TNI ikut memantau secara langsung dalam acara resepsi ngunduh mantu.
Selain itu, sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju pun turut membantu acara pernikahan presiden tersebut.
Hal itu sontak menuai kritik dari Ketua DPP PKS, Mardani Alisera. Sebab menurutnya, tugas utama seorang menteri adalah membantu presiden dalam mengurus negara, bukan membantu mengurusi urusan pribadi.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang warganet yang mengaku seorang wartawan. Dikutip dari suara.com pada Jumat, 9/12/2022. Adapun alasan dirinya tidak mau meliput acara tersebut, menurutnya karena keluarga Jokowi dinilai tidak memiliki empati kepada rakyat yang sedang susah.
Pernikahan mewah di tengah penderitaan rakyat yang menjadi korban gempa, PHK, dan stunting sepatutnya tidak terjadi.
Penguasa seharusnya memiliki kepekaan dan empati yang tinggi terhadap kondisi rakyatnya. Namun dalam sistem kepemimpinan demokrasi, sifat tersebut cenderung akan terkikis habis. Sekulerisme yang menjadi asas sistem ini berprinsip memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan.
Padahal agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan, serta menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya.
Jika agama justru dijauhkan dari kepemimpinan negara, maka tak heran jika lahir penguasa yang tidak merasa sungkan atau bersalah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Demokrasi juga dipastikan membentuk kepemimpinan yang bersifat transaksional antara penguasa dengan para kapitalis yang membiayai perjalanan menuju kursi kekuasaan. Konsekuensinya, kalaupun dalam sistem ini terdapat berbagai aturan tentang urusan rakyat namun selalu akan ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis, yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih bagi rakyat. Tak aneh jika keberadaan penguasa di tengah-tengah rakyat seolah menjadi pencitraan semata.
Realita tersebut tentu sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam yang bernama Khilafah. Dalam Khilafah, akidah Islam dijadikan asas kepemimpinan, karenanya terwujudlah sosok penguasa yang sangat takut malalaikan tanggung jawab mereka kepada rakyat. Sebab, mereka begitu menyadari bahwa kepemimpinan mereka akan berimplikasi pada kehidupan akhirat.
Rasulullah Saw Bersabda ;
"Siapapun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat,"(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Dalam Khilafah, syariat Islam menjadi panduan aktifitas dan tanggung jawab kepemimpinan. Syariat Islam menetapkan bahwa pengusa haruslah menjadi ra'in yakni, (pengurus dan pemelihara), sekaligus menjadi junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Kesadaran terhadap akidah dan syariah Islam ini menghasilkan sikap wara (kehati-hatian) dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakannya untuk kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk pribadinya, walaupun hanya sedikit.
Salah satu teladan penguasa yang seperti ini adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diriwayatkan bahwa ketika beliau sedang menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam, lalu datanglah putranya meminta izin untuk menyampaikan suatu hal kepadanya. Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz lantas mempersilahkan putranya masuk dan mendekat, lalu bertanya "Ada apa purtaku datang ke sini ? Untuk urusan keluarga kita ataukah negara ?" Sang putra menjawab bahwa kedatangannya adalah untuk urusan keluarga. Mendengar jawaban putranya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz langsung meniup lampu penerang di atas mejanya sehingga ruangan menjadi gelap gulita.
Tindakan beliau ini membuat putranya heran dan menanyakan mengapa ayahnya melakukan itu ?
Sang Khalifah pun menjawab "Anaku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Minyak untuk menyalakan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang kesini akan membahas urusan keluarga kita,"
Kemudian Khalifah memanggil pembantunya untuk mengambilkan lampu pribadinya. Beliau pun berkata: "Minyak untuk menyalakannya dibeli dari uang kita sendiri,"
Meski dalam kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz fasilitas negara yang dimaksud hanyalah berupa lampu penerang, namun beliau tidak mau menggunakan untuk urusan pribadi, walaupun hanya sebentar. Dengan sifat dan perilaku penguasa yang demikian, maka tak heran jika
selama 1300 tahun keberadaan Khilafah, rakyat mendapat perhatian pelayanan yang luar biasa dari penguasanya. Kondisi ini tentu tidak pernah bisa diwujudkan oleh sistem demokrasi sekuler saat ini yang sedang berkuasa.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini