Oleh Rifka Nurbaeti, S.Pd.
(Pegiat Literasi)
Kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu permasalahan serius yang menjadi isu seluruh dunia. Negara-negara pun sepakat memerangi kasus ini, termasuk Indonesia. Melalui Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP), Pemprov DKI telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan dan anak di Jakarta. Salah satunya, melaksanakan 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (HKATPA).
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) telah dimulai sejak tahun 2001. Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember (komnasperempuan.go.id).
Kegiatan kampanye sebagai bentuk upaya untuk menghilangkan kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah cukup lama, tapi mengapa tidak kunjung membuahkan hasil, bahkan justru masalah makin kompleks.
Dikutip dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat, laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. (Kompas.com)
Permasalahan kekerasan yang kerap terjadi pada perempuan dan anak tidak lain karena adanya cara pandang yang salah yakni cara pandang sekuler-kapitalis yang diterapkan di seluruh negara, termasuk Indonesia. Pandangan ini menjadikan individualisme dan kebebasan sebagai nilai kehidupan. Pandangan ini juga mengharuskan kesenangan individu sebagai sesuatu yang mesti diraih meskipun membawa dampak buruk.
Penggunaan alkohol dan narkoba menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di sisi lain, kapitalisme juga menjadikan perempuan sebagai sumber mendapatkan keuntungan, maka maraklah eksploitasi secara ekonomi. Perempuan dan anak-anak dipekerjakan sebagai model, bintang film, dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya, industri seks, prostitusi, dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung miliaran dolar. Menjadikan perempuan sebagai obyek syahwat dalam berbagai aktivitas ekonomi demi meraih keuntungan materi.
Maka wajarlah, di tengah berbagai regulasi termasuk UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Perlindungan Anak, kekerasan terhadap perempuan dan anak tetap terjadi. Undang-undang yang lahir atas nama kesetaraan gender tersebut tidak mampu menyelesaikan permasalahan besar itu. Karena persoalannya bersumber dari cara pandang yang salah, akhirnya melahirkan regulasi yang salah. Di mana aturan agama dijauhkan dalam mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan, dan lebih menjunjung tinggi akal manusia.
Saat ini, masyarakat membutuhkan tatanan dunia baru dibangun dari cara pandang yang benar dalam memandang persoalan besar tersebut sehingga terwujud regulasi yang menyejahterakan dan memuliakan, khususnya bagi perempuan dan anak. Tatanan baru untuk dunia itu adalah sistem Islam dibawah naungan Khilafah.
Sistem Islam (khilafah) mampu memutus mata rantai permasalahan kekerasan tersebut melalui kebijakan praktis sebagai berikut:
Pertama, Dalam Islam laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama, hanya ketakwaan yang membedakan posisinya di hadapan Allah Swt. Hal demikian ditujukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga dan juga masyarakat.
Kedua, Islam memiliki berbagai aturan yang menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan, di antaranya dengan kewajiban menutup aurat, menjadikan kehidupan perempuan terpisah dari laki-laki asing. Beberapa aturan khusus tersebut bukan untuk mendiskriminasi perempuan tapi justu membawa kebaikan bagi perempuan.
Ketiga, penerapan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan. Negara memastikan setiap warganya baik muslim maupun nonmuslim terpenuhi kebutuhan primernya sehingga mereka bisa hidup layak.
Dalam Islam nafkah perempuan menjadi tanggungan wali nya, jika tdk ada maka negara yang menjaminnya melalui harta baitul maal. Negara juga menutup celah semua lapangan kerja yang memanfaatkan sisi feminitas perempuan Hal ini dilakukan sekaligus unrtuk menyelesaikan kemiskinan secara sistematis.
Keempat, negara akan memberi sanksi yang sangat menjerakan bagi pelaku kekerasan. Misalnya, dengan menghukum pelaku pemerkosa dengan hukuman jilid dan rajam; atau menghukum kisas pada pembunuh. Jika sanksinya menjerakan, kekerasan pada perempuan akan hilang dengan sendirinya.
Inilah konsep Islam dalam melindungi perempuan yang tidak akan pernah bisa didapatkan dalam sistem kehidupan sekuler liberal hari ini. Hanya saja, konsep Islam tidak mungkin bisa diterapkan sempurna jika sistemnya masih batil, yaitu demokrasi kapitalisme.
Wallahu a’lam bisshawab