Oleh : Ummu Hadyan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan hakim yustisial Edy Wibowo setelah tim penyidik rampung memeriksanya buntut kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Penahanan ini dilakukan selama 20 hari dimulai sejak tanggal 19 Desember hingga 7 Januari 2022. Edy ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK gedung Merah Putih.
Edy diduga telah menerima suap sebesar Rp3,7 miliar yang diterima melalui perantara PNS di MA, yakni Muhadjir Habibie dan Albasri. (cnnindonesia.com 19/12/2022)
Sungguh Ironis memang, penegak hukum malah terjerat hukum. Namun fakta semakin membuktikan betapa rusaknya sistem hukum dalam negeri dengan adanya kasus korupsi sudah sedemikian parah dan menggurita.
Terlebih adanya anggapan bahwa OTT (Operasi Tangkap Tangan) merusak citra bangsa, sebagaimana yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman & Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan Luhut tidak ingin Komisi Anti Rasuah lebih sering melakukan OTT dan mereka harus berupaya toleran. (Tirto.id 21/12/2022)
Pernyataan pejabat yang seperti ini tentu menciderai kepercayaan masyarakat sekaligus menyakiti lembaga anti rasuah tersebut.
*Pangkal Masalah*
Pangkal masalah korupsi dinegeri ini adalah penerapan sistem politik Demokrasi Sekuler dan berbiaya tinggi. Prinsip politik Demokrasi Sekuler tidak terikat dengan aturan agama. Kedaulatan hukum ada ditangan manusia. Alhasil hukum dalam sistem ini pun bisa diotak atik sesuai dengan kepentingan pihak tertentu.
Untuk mendapatkan jabatan politik misalnya para calon membutuhkan proses yang panjang dan biaya yang begitu mahal. Kondisi ini membuka celah terjadinya kongkalikong antar pihak yang berkepentingan. Jelas uang akan menjadi pelicin setiap hal ini sehingga lahir budaya korupsi.
Seperti pernyataan seorang mantan hakim agung yang mengatakan celah korupsi itu terjadi pada saat seorang hakim mendapat promosi atau mutasi. Komisi yudisial mengaku sudah dilibatkan MA dalam merekomendasikan promosi dan mutasi hakim tersebut. Realita yang demikian tentu membuat upaya pemberantasan korupsi pun laksana mimpi melihat berbagai pembelaan terhadap koruptor.
Kasus korupsi bukan sekedar karna individu pejabatnya amoral dan tidak amanah, namun korupsi terjadi karna penerapan sistem Sekuler Demokrasi yang memang menyuburkan praktek korupsi. Jika dibandingkan dengan sistem Khilafah praktek korupsi tidak akan menjadi penyakit kronis yang merusak tubuh pemerintahan seperti dalam sistem Sekuler Demokrasi.
Hal ini disebabkan Khilafah memiliki cara pandang yang khas pada setiap permasalahan.
*Upaya Solutif Yang Ditawarkan Sistem Islam*
Dalam Islam korupsi adalah kejahatan. Korupsi adalah perbuatan khianat. Orangnya disebut sebagai Khaa'in.
Syaikh Abdurahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzhamul 'Uqubat menjelaskan, khianat ini atau korupsi bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang ,yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu.
Karnanya sanksi uqubat untuk para koruptor adalah ta'zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim, berat atau ringan nya disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.
Untuk sanksi yang paling ringan bisa berupa nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda atau gharamah, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati.
Sanksi uqubat yang diterapkan oleh Khilafah ini akan memberikan dua efek yakni efek jawabir dan zawajir ditengah tengah masyarakat. Jawabir sebagai penebus dosa bagi pelaku diakhirat nanti. Efek zawajir berfungsi sebagai pencegah, ketika pelaku diberi sanksi pelaku akan merasa jera dan masyarakat akan merasa ngeri dengan sanksi yang diberikan.
Namun sanksi uqubat ini adalah jalan terakhir sebagai bentuk hukuman kepada para pelaku. Sebelum menerapkan sistem uqubat Khilafah akan menciptakan suasana yang meminimalisir bahkan meniadakan tindakan korupsi.
Upaya tersebut adalah :
Pertama, Khilafah wajib merekrut pegawai negara dengan asas profesionalitas dan intergritas bukan koneksitas atau nepotisme. Asas profesionalitas dan integritas ini dilihat dari kinerja kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam, maka pegawai negara lembaga apapun termasuk aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria tersebut.
Kedua, Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawai nya.
Ketiga, Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi SAW bersabda " Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah hendaklah ia mengambil rumah, kalau tidak punya istri hendaklah ia menikah, kalau tidak punya pembantu atau kendaraan hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan".(HR. Ahmad)
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasulullah SAW bersabda " Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram), dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran". (HR. Ahmad)
Harta korupsi adalah harta ghulul, jika para pejabat terbukti melakukan korupsi atau suap menyuap, harta ghulul tersebut akan masuk kedalam pos pendapatan negara Baitul Mal.
Kelima, Khilafah akan membentuk lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menjelaskan tugas tersebut akan dilakukan oleh badan pengawasan atau pemeriksa keuangan Khilafah. Adanya badan ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan yang tugasnya mengawasi kekayaan para pejabat negara.
Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Ketujuh, ada mekanisme pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Inilah upaya solutif pemberantasan korupsi yang ditawarkan oleh sistem Islam. Solusi ini tentu akan membawa berkah bagi kehidupan manusia, menyejahterakan masyarakat dan menjaga para pejabat dari tindakan korupsi.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini