Oleh Deviana Farhani
16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) merupakan event kampanye tahunan yang biasa dirayakan di bulan November, tepatnya pada tanggal 25 November sampai 10 Desember. Tujuan dari event ini adalah untuk menggemakan dan menolak segala bentuk kekerasan yang terjadi dan menimpa kaum perempuan. 16 HAKTP pertama kali digagas oleh Women’s Institute pada tahun 1991. Di Indonesia sendiri perayaan ini digelar oleh Komnas Perempuan pada tahun 2001.
HAKTP diperingati selama 16 hari, dari 25 November sampai 10 Desember. Perayaan yang dilakukan selama 16 hari dilakukan karena terdapat korelasi yaitu adanya hari anti kekerasan terhadap perempuan pada tanggal 25 November dan hari HAM intenasional pada tanggal 10 Desember, dimana korelasinya adalah bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Perayaan 16 HAKTP pada tahun ini digelar oleh Organisasi Perempuan Mahardika di empat kota yaitu Jakarta, Banjarmasin, Makassar, dan Samarinda yang diisi dengan kegiatan kampanye, serta di Jakarta dilakukan roadshow Jakarta Ramah Perempuan dan Peduli Anak, yang mengangkat tema “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sementara itu, Komnas Perempuan menyatakan bahwa dari rentang bulan Juni 2021 – Juni 2022 tercatat ada 84 kasus femisida pasangan intim yang dilakukan oleh suami atau mantan suami kepada istrinya. Dari fakta data yang disajikan, menunjukkan bahwa adanya penyelenggaraan event tahunan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai “obat penawar”. Meskipun setiap tahun event tersebut terus diperingati dan dirayakan, tidak dapat menghentikan dan menghapus kasus tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan. Berdasarkan data dari komnas perempuan pada tanggal 25 November 2022 menyatakan bahwa kejadian kekerasan pada perempuan banyak dipicu oleh faktor cemburu, dan kasus paling sedikit dipicu oleh adanya faktor ekonomi.
Hal ini terjadi karena salahnya penerapan sistem yang digunakan saat ini. Sistem sekuler-kapitalistik hanya menjadikan wanita sebagai objek komoditas, yang beranggapan bahwa laki-laki lebih kuat dan berkuasa sehingga dengan mudahnya laki-laki melakukan tindak kekerasan dan berbuat sewenang-wenang terhadap wanita. Hal ini didukung dengan adanya hak asasi manusia yang melindungi setiap kebebasan individu.
Adanya emansipasi wanita menjadi salah satu pemancing adanya kekerasan terhadap perempuan. Tidak sedikit kasus kekerasan yang melibatkan perempuan sebagai korbannya terjadi di lingkungan kerja, yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya baik kekerasan secara fisik, maupun verbal. Di dalam rumah keamanan dipertanyakan apalagi di luar rumah, begitulah kurang lebih kondisi keamanan bagi perempuan saat ini digambarkan.
Lain halnya jika sistem islam diterapkan, wanita akan sangat dimuliakan dan dilindungi. Cara islam melindungi dan memuliakan perempuan ditunjukkan dengan adanya aturan-aturan yang sangat memperhatikan perempuan, yaitu dengan adanya aturan tentang interaksi antara pria dan wanita yang bukan mahram, adanya aturan terkait kehidupan berumah tangga dan cara memperlakukan seorang istri, aturan pakaian tertutup bagi perempuan, serta aturan lainnya yang telah Allah ciptakan demi terbentuknya lingkungan yang dapat melindungi dan memuliakan manusia, terkhusus wanita.
Maka dari itu, untuk memberantas dan mengatasi kasus kekerasan terhadap perempuan tidak cukup dengan melakukan kampanye tahunan 16 HAKTP, tetapi juga harus menyelesaikan akar dari permasalahan yang ada. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa sumber dari maraknya kasus kekerasan ini disebabkan oleh pandangan bahwa wanita hanya objek komoditas saja, pandangan itu muncul dari salahnya sistem yang saat ini digunakan, yaitu sistem sekuler-kapitalistik.
Maka dari itu perlu adanya perubahan sistem untuk mengatasinya. Sistem tersebut adalah sistem islam yang akan memuliakan, melindungi dan menjamin keselamatan para perempuan melalui aturan-aturannya yang sangat sesuai, yaitu aturan yang dibuat oleh sang khalik untuk makhluk ciptaannya.
Tags
Opini