Pembangunan IKN Menggebu, Demi Siapa?




Oleh: Endang Setyowati


Ketika pertama kali wacana pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) mencuat, pemerintah mengatakan tidak menggunakan utang untuk membiayai pembangunan tersebut. Pembiayaan tersebut berasal dari APBN Rp89,4 triliun (19,2%), kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) sebesar Rp253,4 triliun (54,4%) dan swasta Rp123,2 triliun (26,4%).

Akhirnya RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) disahkan pada tanggal 18 Januari 2022 menjadi UU oleh DPR RI dan pemerintah. Namun kemudian UU tersebut direvisi,
Seperti yang dikutip dari Kontan.CO.ID, (02/12/2022) Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia buka suara terkait revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) mengenai kepemilikan hak guna lahan bagi investor selama 90 tahun hingga 180 tahun.

Menurutnya kebijakan tersebut sebagai pemanis untuk menarik perhatian investor agar mau menanamkan modalnya di IKN Nusantara Kalimantan Timur. Jangka waktu kepemilikan lahan ini, menurutnya akan menjadi daya tarik tersendiri, dan sudah dilakukan di berbagai negara.

"Ini bukan soal ngemis atau tidak ngemis. Jadi kita harus menawarkan hal yang menarik bagi investor. Nah yang menjadi salah satu yang menarik adalah yang mungkin terkit dengan jangka waktu kepemilikan lahan dan kalau dibanding negara lain, itu juga seperti itu,” tutur Bahlil kepada awak media, saat ditemui di Hotel Borobudur Jakarta, Jumat (2/12).

Adapun Bahlil membantah kebijakan tersebut diberlakukan karena saat  investor yang masuk IKN sepi peminat. Ia mengklaim beberapa investor sudah menyatakan komitmen masuk ke IKN adalah dari Uni Emirat Arab, China, Korea Selatan, hingga negara Eropa.
"Sekarang bukan berarti nggak ada, sudah ada, tapi kan boleh dong mereka menawar dan kita harus cari jalan keluar bersama-sama, win-win solution lah. Negara dapat, pengusaha juga harus dapat," jelasnya.

Dengan alasan investasi, sebenarnya mudah bagi para pemilik modal untuk mendikte pemerintah agar mau melayani kepentingan bisnisnya. Statement yang terlontar dari pejabat negara yang mengatakan bahwa jangka waktu hak guna lahan selama 90 hingga 180 tahun hanyalah "pemanis" itu seharusnya tidak ada.

Insentif hak guna lahan yang lama tersebut menunjukkan betapa tidak mampu negara membiayai proyeknya tersebut. Dan juga menunjukkan ambisiusnya atas pembangunan proyek IKN ini. Padahal proyek ini tidak mendesak, apalagi di tengah rakyat yang sedang dilanda kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kebijakan ini menunjukkan kebijakan yang semakin mengobral kedaulatan negara di tangan para kapitalis modal. Seperti inilah ciri khas pembangunan dalam sistem kapitalisme.
Yaitu pembangunan yang hanya menguntungkan para kapital saja tanpa berfikir bahwa hal tersebut akan mengancam kedaulatan negara.

Keberadaan Ibu kota itu sendiri, merupakan pusat kekuasaan yang menunjukkan kedaulatan suatu negeri. Menurut pandangan Islam, Ibu Kota Negara merupakan daerah yang sangat penting. Karena disanalah pusat kedudukan pemimpin (Khilafah) dan merupakan pusat seluruh aktivitas kenegaraan.

Infrastruktur merupakan bangunan fisik yang identik dengan prasarana dan berfungsi untuk mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi suatu masyarakat.

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah membagi infrastruktur dari segi kepemilikan menjadi tiga jenis. Yaitu Infrastruktur milik umum, yang meliputi jalan umum dan sejenisnya, laut, sungai danau lapangan umum, masjid serta pabrik atau industri yang berhubungan dengan milik umum, misal pertambangan, pemurnian serta peleburanya.

Kedua, infrastruktur milik negara yang disebut dengan marafiq yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan meliputi sarana yang ada di pedesaan, propinsi maupun yang dibuat oleh negara.

Ketiga Infrastruktur yang bisa dimiliki individu seperti industri berat dan senjata, landasan pesawat terbang, sarana transportasi seperti bus dan pesawat terbang.

Tentang pembiayaan infrastruktur tersebut negara tidak boleh pinjam dari negara lain atau lembaga keuangan global karena tidak sesuai dengan syariat. Negara bisa memanfaatkan beberapa kategori kepemilikan umum seperti SDA (Sumber Daya Alam) semisal minyak, gas dan tambang tertentu semisal fosfat, emas, tembaga dan sejenisnya.

Sehingga negara tidak perlu hutang kemanapun apalagi berharap kepada investor yang justru akan membahayakan kedaulatan negeri.
Maka sudah saatnya apabila kita sebagai makhluk Allah kembali kepada aturan yang telah ditetapkan oleh sang pemberi hidup yaitu Allah SWT.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak