Oleh: Mona Ely Sukma
(Aktivis Dakwah Kampus)
Di tengah kemalangan yang menimpa masyarakat, seorang pejabat melangsungkan pernikahan anaknya dengan hajatan dan resepsi yang begitu mewah. Tak hanya mewah, acara ini memanfaatkan sejumlah fasilitas negar dengan alasan keamanan dikutip nasional.okezone.com terdapat ribuan personel TNI diturunkan untuk mengamankan pernikahan tersebut.
Begitu juga dengan anjing dilibatkan untuk melaksanakan tugas sterilisasi dan membawa bahan peledak selama proses hajatan berlangsung, dan ratusan CCTV untuk membantu pengamanan resepsi pernikahan. Beberapa petinggi lainnya juga ikut mempersiapkan pengamanan untuk acara resepsi ngunduh mantu. Selain itu sejumlah Menteri kabinet Indonesia Maju membuat acara pernikahan tersebut, hal ini kemudian dikritik oleh ketua PKS DPP Chaiman Mardani Ali, dikutip dari populis.id.
Menurutnya tugas utama seorang menteri adalah membantu presiden dalam mengurus negara, bukan membantu mengurusi urusan pribadi. Hal senada di ungkap salah seorang warganet yang mengaku wartawan dikutip dari suara.com. Menurutnya, pernikahan keluarga pejabat ini dinilai tidak memiliki empati kepada rakyat yang sedang susah.
Pernikahan mewah di tengah penderitaan rakyat yang menimpa korban gempa, PHK dan stunting. Sepatutnya yang terjadi penguasa harusnya memiliki kepekaan dan empati yang tinggi kondisi rakyatnya. Namun dalam demokrasi sifat tersebut cenderung akan terkikis habis, sekularisme berprinsip memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan.
Padahal agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan, dan menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya. Jika agama dijauhkan dari pemimpin negara maka lahir penguasa yang tidak merasa sungkan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Demokrasi membentuk kepemimpinan transaksional antara penguasa dengan para kapitalis yang membiayai perjalanan menuju kursi kekuasaan. Konsekuensinya terdapat beberapa aturan tentang urusan rakyat namun selalu akan ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih bagi rakyat. Tak heran keberadaan penguasa di tengah rakyat seolah menjadi pencitraan semata.
Realita tersebut sangat berbeda dengan sistem Islam yang disebut dengan Khalifah. Dalam Khilafah, akidah Islam menjadi asas kepemimpinan, karenanya terwujudlah suasana tanggung jawab kepada rakyat. Sebab pemimpin menyadari bahwa kepemimpinan mereka akan berimplikasi pada kehidupan akhirat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat." (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Dalam Khilafah, syariat Islam menjadi panduan aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. Syariat Islam menetapkan penguasa menjadi pengurus dan pemelihara serta menjadi pelindung bagi rakyatnya. Kesadaran terhadap akidah dan syariat Islam ini akan menghasilkan sifat wara’ dalam menggunakan fasilitas negara dan penguasa hanya akan menggunakannya untuk kepentingan mengurus rakyat, dan tidak akan memanfaatkan untuk pribadinya walaupun hanya sedikit.
Salah satu teladan penguasa yang menjadi contoh adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Beliau menyelesaikan tugas di ruangan kerjanya hingga larut malam, datanglah putranya meminta izin untuk menyampaikan suatu hal kepadanya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, mempersilahkan putranya masuk, dan mendekat. "Ada apa putraku datang kesini? Untuk urusan keluarga atau negara?” Lalu sang putra menjawab ia tanya membawa untuk urusan keluarga. Mendengar jawaban putranya Khalifah Umar bin Abdul Aziz langsung meniup lampu penerang di atas mejanya sehingga ruangan menjadi gelap. Tindakan beliau ini membuat putra Khalifah Umar bin Abdul Aziz heran dan menanyakan, “Mengapa ayahnya melakukan itu, sang khalifah pun menjawab, “Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai negara minyak untuk menyalakan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga.” Kemudian khalifah memanggil pembantunya untuk mengambil lampu pribadinya. Beliau pun berkata, "Minyak untuk menyalakan lampu ini dibeli dari uang pribadi.”
Dari kisah Khalifah Umar bin Abdul aziz, fasilitas negara hanya berupa lampu penerang, beliau tidak mau menggunakannya untuk urusan pribadi. Meski hanya sebentar. Perilaku dan sikap penguasa demikian tak heran selama 1400 tahun keberadaan khilafah rakyat mendapat perhatian dan pelayanan yang luar biasa dari penguasanya. Kondisi ini tidak bisa diwujudkan di sistem demokrasi sekuler saat ini. Maka, segera buang sistem kapitalisme lalu memperjuangkan sistem Islam. Wallahu 'alam.