Para Intelektual dalam Cengkraman Pinjaman Online

Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd. 
(Relawan Media)

Pengamat Keuangan Piter Abdullah menilai ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman dalam jaringan (pinjaman online/pinjol) untuk penjualan yang ternyata bodong karena tamak yang tidak memiliki kemampuan keuangan, dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini. Namun, ia mempertanyakan apakah kasus ini penipuan sehingga perlu diusut tuntas aparat hukum.

"Itu perilaku tamak, rakus yang tidak mau bekerja keras karena membuat pelaku (mahasiswa) spekulatif, apalagi kalau tidak didukung dengan kemampuan keuangan. Persoalan semakin ditambah karena mereka tidak memiliki literasi pengetahuan yang cukup," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (15/11/2022).

Dia pun melanjutkan, mahasiswa ini berspekulasi dan meminjam uang orang yaitu di pinjaman dalam jaringan. Padahal, ia mengingatkan bunga pinjaman yang sangat tinggi baik pinjol ilegal maupun legal. Pria yang juga Direktur Eksekutif Segara Institute ini menambahkan, semua pinjaman memiliki bunga yang besar (15/11/2022, republika.co.id).

Sejatinya, kasus tersebut bukan yang pertama kali, tetapi sudah yang kesekian kali. Sebagaimana yang sebelumnya juga pernah menimpa 
sejumlah mahasiswa korban investasi bodong di Kabupaten Jember, melapor ke Mapolres Jember, Kamis, 14 Oktober 2021. Dalam kasus ini korban yang jumlahnya 70 orang mengalami kerugian sebesar Rp 500 juta (18/10/2021, www.ngopibareng.id).

Terlepas dari kasus tersebut penipuan (bodong) atau tidak, kasus-kasus demikian cukup mewakili deretan potret buram sistem pendidikan negeri ini. 

Setingkat mahasiswa, seharusnya sudah bisa berfikir akan sebab akibat atau resiko dari perbuatannya. Namun, semua itu tentu tidak terjadi begitu saja. Karena pasti ada faktor-faktor yang melatar belakanginya. Menurut hemat penulis, sebagai berikut:

1. Dari faktor individunya,   diakui atau tidak, budaya konsumtif/hedonis telah menjadi virus siapa saja, khususnya mahasiswa. Sifat boros alias tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan menjadikan seseorang menghambur-hamburkan uang untuk belanja, apalagi mahasiswa diperkotaan yang tentu sangat memprioritaskan penampilan/gaya. 

2. Lingkungan, faktor yang berpengaruh juga adalah faktor lingkungan sekitar. Jujur saja, masyarakat sekular yang terbentuk alamiah dari sistem kapitalis punya prinsip bahwa, semakin "mahal" gaya hidup seseorang maka semakin diakui statusnya oleh lingkungan. Sebaliknya, semakin sederhana gaya hidupnya, semakin dipandang sebelah mata. Prinsip inilah yang menjadikan manusia berbondong-bondong bergaya hidup mewah, tak lain karena ingin diakui keberadaan atau status sosialnya.  

3. Negara bersistem kapitalis. Tak selamanya juga mahasiswa yang terjerat pinjol itu karena untuk gaya hidup semata. Bisa jadi mereka terpaksa meminjam karena untuk membayar biaya kuliah atau kebutuhan mendesak lainnya. Apalagi kita tahu bersama bahwa biaya kuliah semakin mahal ditambah biaya hidup yang juga serba mahal. Disini nampak jelas akan kealpaan peran negara sebagai periayah atau pengurus warga negaranya. Negara bukan sebagai pelayan yang memberikan layanan pendidikan berkualitas dan gratis, melainkan sebagai "pengusaha" yang mengkapitalisasi sektor pendidikan sebagai penghasil cuan. 
Akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme, menjadikan para mahasiswa berorientasi materi semata. Sekolah tinggi-tinggi dengan tujuan untuk mendapatkan ijazah agar bisa melamar kerja di perusahaan yang gajihnya tinggi. 
Negara telah gagal menciptakan mereka menjadi mahasiswa atau pembelajar yang siap menjadi pemimpin di masa mendatang yang membawa perubahan bangsa dan negaranya ke arah yang lebih baik. 

Model pendidikan yang berkualitas dan gratis semestinya bisa disediakan oleh negara,  karena negara lah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggara pendidikan yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana prasarana yang memadai dan SDM yang bermutu.

Sebagaimana dulu telah diterapkan pada masa kejayaan Islam di mana pendidikan dilaksanakan oleh negara secara cuma-cuma untuk seluruh rakyatnya.

Karena ianya adalah kewajiban negara, “Imam adalah penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Al Bukhari), maka negara Islam pun menyediakan infrastruktur pendidikan kelas satu untuk seluruh rakyatnya. Mulai dari sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga biaya pendidikan yang lebih dari memadai.

Pada zaman Abbasiyah, Al Kuttab (sekolah dasar) banyak didirikan oleh Khilafah, menyatu dengan masjid. Di sana juga dibangun perpustakaan. Pendidikan tinggi pertama pada zaman itu adalah Bait Al Hikmah, yang didirikan oleh Al Ma’mun (830 M) di Baghdad. Selain berfungsi sebagai pusat penerjemahan, juga digunakan sebagai pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium (Philip K Hitti, History of the Arabs, 514-515). Setelah itu, baru muncul Akademi Nidzamiyyah yang dibangun antara tahun 1065-1067 M. Akademi yang kemudian dijadikan oleh Eropa sebagai model perguruan tinggi mereka (Reuben Levy, A Baghdad Chronide, Cambridge: 1929,193).

Di Cordoba, Spanyol, pada zaman itu juga telah berkembang Le Mosquet yang asalnya merupakan gereja, kemudian dialihfungsikan sebagai masjid, lengkap dengan madrasah, dengan berbagai fasilitas pendidikan lainnya. Lembaga pendidikan telah menelorkan ulama sekaliber Al Qurthubi, As Syathibi, dan lain-lain. Tidak hanya ahli tafsir dan usul, akademi pendidikan di era Khilafah juga berhasil melahirkan para pakar di bidang kedokteran seperti Ali At Thabari, Ar Razi, Al Majusi dan Ibn Sina; di bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan; astronomi dan matematika, Mathar, Hunain bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, Ali bin Isa Al Athurlabi dan lain-lain; geografi, seperti Yaqut Al Hamawi dan Al Khuwarizmi; historiografi, seperti Hisyam Al Kalbi, Al Baladzuri, dan lain-lain. Mereka merupakan produk akademi pendidikan di era Khilafah.

Fakta sejarah di era keemasan Islam di atas membuktikan, bahwa kualitas output pendidikan yang dihasilkan oleh Khilafah telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan kelas satu seperti itu diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Karena itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Khilafah bukanlah isapan jempol.

Pendidikan gratis tetapi bermutu bisa diwujudkan oleh Khilafah karena Khilafah mempunyai sumber pendapatan yang sangat besar. Selain itu, kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat melalui skim pembiayaan pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain. Dengan cara yang sama, negara juga bisa membangun infrastruktur pendidikan yang lebih dari memadai, serta mampu memberikan gaji dan penghargaan yang tinggi kepada ulama atas jasa dan karya mereka. Dari pendidikan dasar, menengah hingga atas, yang menjadi kewajiban negara, tidak sepeser pun biaya dipungut dari rakyat. Sebaliknya, semuanya dibiayai oleh negara. Anak-anak orang kaya dan miskin, sama-sama bisa mengenyam pendidik¬an dengan kualitas yang sama. Waallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak