Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Akhir tahun 2022 ditutup dengan banyaknya bencana di Indonesia. Mulai tanah longsor, gempa bumi, dan banjir yang seakan menjadi langganan dan tidak bisa dihindari. Banyak pakar telah di miliki Indonesia terkait banjir yang terus terjadi. Tidak hanya di pedalaman, bahkan Ibu kota negara tak luput dari musibah banjir ini.
Kalau kita cermati, banjir Jakarta bukanlah insidental dan teknis semata, melainkan soal sistemis-ideologis, yakni terkait ideologi yang diterapkan. Sehingga, usaha mengatasi banjir secara teknis tidaklah mencukupi, karena masalahnya ada pada ideologi yang diterapkan negara, yakni kapitalisme.
Kapitalisme didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Imbasnya, negara dibentuk seperti perusahaan yang harus profit-oriented. Untuk bisa menghasilkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, kapitalisme mengabaikan satu fundamental alam, yakni keberlanjutan lingkungan.
Pembukaan lahan dilakukan tanpa memerhatikan AMDAL, melainkan melalui deal-deal di belakang layar. Tata kota yang dihasilkan pun akhirnya menjadi tidak rasional. Tata kota diserahkan pada mekanisme pasar ala kapitalisme yang praktis mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Pengelolaan kota hanya mengandalkan visi jangka pendek lima tahun sesuai dengan mekanisme demokrasi.
Tidak seperti kapitalisme, Islam menjamin pembangunan harus selalu menjaga kesetimbangan lingkungan. Ekonomi Islam tidak tersentralisasi dan berorientasi pertumbuhan, melainkan berorientasi pada distribusi. Sehingga, aktivitas ekonomi akan merata di seluruh penjuru negeri, yang berimbas pada menurunnya kepadatan kota.
Untuk menerapkan ideologi Islam, tentu butuh institusi penerapnya, yakni Khilafah. Tanpa eksistensi Khilafah, mustahil bisa menyelesaikan masalah banjir ibu kota atau kota besar lainnya secara tuntas. Sayangnya, saat ini Khilafah yang notabene ajaran Islam, terus dimonsterisasi dan dikaburkan realitas fikih dan historisnya oleh rezim penguasa.
Selain itu, sebagai hamba Allah, manusia selayaknya tetap waspada dan menjadikan musibah ini sebagai bahan muhasabah: sudahkah perilaku dan pengaturan seluruh aspek kehidupan –baik pergaulan, ekonomi, bahkan pemerintahan– selaras dengan tuntunan Sang Pencipta Alam Semesta?
Harus disadari, Allah sebetulnya hendak menguji kesabaran manusia (QS al-Baqarah [2]: 155-157) sekaligus peringatan agar manusia terdorong rajin muhasabah (introspeksi diri), betapa manusia sangat lemah dan tidak berdaya di hadapan kemahakuasaan Allah Swt. (QS ar-Ra’d [13]: 41).
Muhasabah tentu sangat penting. Dengan itu, setiap muslim bisa mengukur sejauh mana ketaatannya pada perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya, serta setiap saat terdorong untuk terus berupaya untuk selalu taat kepada Allah Swt. serta menjauhi maksiat dan dosa kepada-Nya. Wallhu a’lam bi ash showab