Penulis : Meri
Beberapa hari yang lalu telah diselenggarakan sebuah pembinaan kepada para Kepala Madrasah (Kamad) oleh Kementerian Agama Kota Cirebon pada tanggal 1 November 2022 di Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon. Moderasi beragama, di mana merupakan salah satu dari tujuh program prioritas Kementerian Agama ini diharapkan akan menjadi program utama bagi kaum milenial di lingkungan madrasah.
Pemateri dalam pembinaan tersebut menyampaikan bahwa moderasi memiliki makna ‘tengah-tengah’, artinya tidak berlebihan dan tidak berkekurangan dalam berkehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Beliau juga menyebutkan sikap moderasi beragama dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tawasuth, di mana perilaku tawasuth ini dikaitkan dengan dalil tentang keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sehingga melalui pembinaan tersebut, pemateri berharap perilaku tawasuth dapat ditanamkan sejak dini melalui program moderasi milenial di kalangan madrasah.
Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan moderasi beragama?
Istilah moderasi beragama mulai mencuat ke permukaan setelah Kementerian Agama menjadikan moderasi dalam beragama sebagai salah satu program prioritasnya. Berbagai acara dan diskusi pun diselenggarakan dalam rangka memahamkan kepada masyarakat mengenai pentingnya memiliki sikap moderat dalam beragama. Tetapi, apabila kita tidak mengkaji secara mendalam apa itu moderasi beragama dan efeknya terhadap perbuatan dan amalan kita, hal ini justru akan memunculkan kebingungan dalam bersikap sebagai seorang muslim.
Perlu kita sadari bahwa moderasi beragama sendiri bukan berasal dari ajaran Islam. Ini merupakan gagasan para pemikir sekuler-liberal barat. Makna moderasi Islam pun dapat dipahami dari sebuah buku yang dikeluarkan Rand Corporation, berjudul Building Moderate Muslim Network. Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims). Muslim moderat adalah orang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi; termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum non-sektarian, serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, RAND Corporation, hlm. 66).
Paham-paham serupa di atas tentu merupakan paham yang bertentangan dengan nilai ajaran Islam. Namun, atas nama Islam Moderat atau yang lebih kita kenal dengan Islam tengah-tengah ini, pemahaman di luar Islam pun seakan sah-sah saja untuk diadopsi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pembiasan akidah dan pluralisme melalui kebolehan memberi selamat pada perayaan hari besar umat lain oleh kaum muslimin.
Akibat faham ini, penerimaan ide-ide LGBT pun semakin meningkat di tengah-tengah remaja muslim. Sungguh faham ini membawa kemudharatan bagi umat Islam termasuk kalangan millenial.
Oleh karena itu, moderasi beragama tidak layak dijadikan program yang diarusderaskan di tengah-tengah kaum milenial. Sebab, akan membawa kerusakan padahal mereka adalah generasi penerus bangsa.
Sebaliknya, sudah seharusnya generasi muda ini dibina dengan Islam kaffah agar terbentuk pola fikir dan pola sikap Islam. Dengannya mereka dapat membedakan antara perkara yang benar dan salah. Bahkan mereka dapat membongkar bahwa moderasi beragama hanya dijadikan selimut bagi kaum denial dalam membungkus kebebasan bersikap, berperilaku, dan bertutur kata yang sedang diaruskan oleh barat untuk merusak generasi muslim.
Wallahu’alam bi shawab.
Tags
Opini