Oleh : Ummu Beyza
Baru-baru ini di kabarkan bahwa Pemerintah membuka peluang pemberian kepemilikan hak guna dalam waktu lama agar para investor tertarik menanamkan modalnya di ibu kota baru. Tak tanggung - tanggung Investor di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara diiming-imingi masa hak guna lahan yang panjang hingga lebih dari 100 tahun.
Tidak hanya itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Suharso Monoarfa sebelumnya menuturkan alasan pemerintah juga telah mengusulkan revisi UU IKN. Revisi ini dilakukan untuk mengakomodasi keinginan investor. Salah satu permintaan investor itu, menurut Suharso, adalah status lahan yang awalnya hanya hak pengelolaan menjadi hak kepemilikan.
Harus kita ketahui, bahwa investasi asing mungkin memiliki secuil manfaat, tapi bahayanya jauh lebih besar terutama bagi rakyat dan kedaulatan negara. Pun jika digabungkan antara manfaat dan bahaya dari investasi maka kita akan kita dapati bahwa lebih banyak bahayanya dibanding manfaat yang didapatkan.
Dalam ekonomi kapitalisme alat penjajahan dapat dilakukan melalui kebijakan ekonomi (non fisik) yaitu melalui utang dan investasi. Melalui dua jalan inilah para kapitalis kemudian menikmati apa-apa yang seharusnya menjadi hak rakyat bahkan hingga kehilangan kedaulatan negaranya.
Di Indonesia sendiri angkat investasi asing sudah sangat tinggi yang melingkupi berbagai bidang, seperti; investasi di bidang migas, sawit bahkan hingga ranah publik seperti tol dan pelayanan kesehatan. Banyaknya investasi ini ternyata tak mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat, namun justru menciptakan kesenjangan sosial karena sumber-sumber daya ekonomi telah dikuasai swasta baik asing maupun lokal melalui investasi.
Jika pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) bermodalkan investasi, jelas hal ini akan memperkuat kedudukan oligarki, dengan kekuatan monopolinya maka kebijakan negara akan disetir oleh mereka yang telah menanamkan modal dan segala kebijakan akan mengikuti keinginan dan kepentingan para investor.
Ke-dzaliman demi ke-dzaliman kebijakan akan semakin dirasakan oleh umat melalui lepasnya kontrol negara terkait penentuan harga migas, listrik, tarif tol, penentuan pelayan publik lainnya bahkan termasuk bidang pendidikan dan kesehatan. Karena semua hal ini bukan lagi dilandasi atas pemenuhan hak umat, namun cenderung kepada untuk mendapatkan profit setinggi-tingginya.
Sejatinya bentuk kerjasama dalam pandangan Islam tidaklah dilarang, selama memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan oleh syariat Islam, yaitu;
Pertama, investasi asing tidak boleh masuk dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, masuk dalam kategori kebutuhan pokok rakyat, atau kebutuhan hidup orang banyak.
Kedua, tidak boleh investasi asing ada riba, baik dengan bunga atau kontrak-kontrak yang bertentangan dengan syariat. Ketiga, investasi asing tidak boleh menjadi sarana terciptanya penjajahan ekonomi, terciptanya monopoli ekonomi.
Sedangkan penawaran investasi dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) tidak memperhatikan rambu-rambu syariat ini. Bahkan penawaran investasi yang ditawarkan cenderung mengabaikan hak-hak rakyat.
Jika sebuah pembangunan sebuah negeri ber-asas-kan pada investasi asing, dapat kita bayangkan bagaimana kelak kedaulatan negara tersebut, dimana kita ketahui bahwa setiap investor yang menanamkan modalnya tentu memiliki kepentingan masing-masing. Sehingga segala kebijakan yang berjalan kelak akan berjalan berdasarkan permintaan para investor. Na'udzubillah ...
Masa depan umat butuh syariat Islam, penerapan Islam kaffah baik dalam tataran kehidupan individu, maupun kehidupan bernegara.
Karena harus kita ingat bahwa kemerdekaan tidak hanya status 'merdeka', namun juga harus juga memiliki kekuatan dibidang politik dan ekonomi. Jangan sampai kedua hal ini justru dibiarkan menjadi alat penjajahan non-fisik yang jalannya dilapangkan dengan kebijakan.
Wallahu'alam Bishowwab ...
Tags
Opini