Oleh : Ayya Taqiyya
Adakah yang tidak sepakat dengan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan? Semua sepakat menolak kekerasan. Jika ada yang tak sepakat maka bisa jadi ada gangguan dalam jiwanya.
Dalam waktu 16 hari dimulai sejak 25 November hingga 10 Desember sedang digelar peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, (16HKtP).
Di Indonesia sendiri kampanye sudah berlangsung sejak 2001, namun apakah kekerasan terhadap perempuan semakin terkendali? Bahkan meski payung hukumnya berupa UU TP-KS juga telah disahkan, apakah semua itu mampu menyentuh akar masalahnya? Atau malah semakin kompleks.
Komnas perempuan sendiri telah merilis siaran pers yang didalamnya membahas terkait femisida. Dikatakan bahwa femisida adalah bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrim terhadap perempuan.
Pegiat kesetaraan gender menganggap fenomena tersebut lahir dari gagasan mengenai kepemilikan laki-laki terhadap perempuan. Budaya patriarki di masyarakat seolah membenarkan ide mereka terkait kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Institusi rumah tangga adalah tersangka utama menurut mereka. Komnas perempuan mengambil kesimpulan bahwa institusi rumah tangga dan relasi intim merupakan tempat yang tak aman bagi perempuan.
Lalu, dimanakah ruang aman bagi perempuan? Apakah kebebasan tanpa batas yang digaung-gaungkan pegiat kesetaraan gender telah terbukti mampu menjamin perempuan lebih aman?
Lelaki mengurus dirinya sendiri, perempuan mengurus dirinya sendiri. Dan relasi berwujud kompetisi menjadi visi. Pernikahan dicecar, perzinahan seolah wajar. Lalu masyarakat seperti apa yang hendak dilahirkan? Peradaban bagaimana yang hendak dibangun?
Rusaknya cara pandang sistemik tentang kehidupan, menjadikan rusak pula tatanan semesta. Generasi yang harusnya dilahirkan sebagai pembangun peradaban justru paling banyak masalah generasi menyangkut moral. Sistem yang ada justru memaksa perempuan mengabaikan fitrahnya dan menjadi objek eksploitasi bernarasikan pahlawan keluarga. Hingga tak jarang anak yang menjadi tumbal.
Cara pandang feminisme yang menjadikan kebebasan tanpa batas sebagai asas merupakan buah dari rusaknya sistem kapitalis Barat. Dari sanalah masalah mereka bermula, akibat diskriminasi laki-laki terhadap perempuan pada jaman dulu. Perempuan hanya dianggap sebagai properti dan objek pemuas nafsu.
Sedangkan dalam tatanan islam terkait sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan telah final. Hubungan antara laki-laki dan perempuan telah diatur begitu kompleks dan bersifat universal yang telah terbukti 13 abad lamanya.
Tak pernah ada garansi dalam ide feminis, namun sejarah telah mencatat bukti satu-satunya ruang aman bagi perempuan hanya dalam naungan institusi yang menjadikan ide Islam sebagai cara pandang kehidupan.
Sistem pergaulan dalam islam telah mampu mengcover tatanan relasi dalam masyarakat umum. Karena S.O.P ini bersumber dari wahyu Ilahi. Yang tentunya paling mengetahui bagaimana agar ciptaannya terpelihara dengan baik.
Bukan dari kepala hawa dicipta, itulah agar dia tak merasa lebih tinggi dari adam. Bukan pula dari kaki, agar tak dianggap lebih rendah. Dari rusuk hawa dicipta, darinya lah telah menjadi setara dengan adam.
Hanya iblis yang menarasikan api lebih baik dari tanah. Namun endingnya Allah tetapkan tempatnya di neraka. Ketaatan kepadaNya lah sebagai indikator penilaian mana yang lebih baik menurut Allah.
Dalam Islam laki-laki dan perempuan punya fitrahnya masing-masing. Namun, keduanya sama-sama wajib beribadah dan taat pada Allah. Yang menjadikan mereka lebih unggul di sisiNya hanyalah ketakwaannya.
Setelah Islam datang justru perempuan menjadi lebih dimuliakan, diangkat diatas segalanya. Islam memberikan ruang seluas-luasnya bagi perempuan untuk mengekspresikan diri. Namun tidak dibebaskan hingga lupa dengan fitrahnya, juga tidak dikekang hingga lupa kemanusiaannya.
Celah kejahatan dan kekerasan mungkin tak bisa diberantas bersih. Namun, ketika hal tersebut terjadi dibawah kekuasaan yang berasaskan Islam, maka saksikan sejarah yang telah mencatat takluknya Amuriyah sebab telah dilecehkannya seorang budak perempuan yang berbelanja di pasar oleh seorang Romawi.
Itu baru seorang budak di ruang sosial, bagaimana jika dalam relasi rumah tangga?
Islam menjadikan pernikahan sebagai institusi dalam membangun karakter-karakter yang minimal bermoral bagi sebuah peradaban. Jika feminis menjadikan relasi tsb untuk bertanding, maka Islam menjadikan relasi tsb sebagai ruang untuk bersanding.
Seharusnya laki-laki dan perempuan sama-sama memahami fitrah penciptaan yang Allah berikan, lalu ikhlas berjuang bersama atas setiap potensi yang Allah titipkan. Masing-masing berupaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban yang Allah tetapkan.
Fitrah laki-laki ada pada logika dan ketegasannya. Maka dengan potensinya Allah lebihkan laki-laki atas kepemimpinan. Bukan untuk menguasai, namun mengayomi dan melindungi. Sehingga syariat menempatkan kewajiban nafkah ada di pundaknya.
Suami sebagai leader di rumahnya harus memastikan bahwa sang istri telah memiliki solusi atas setiap kesulitan dalam rumahnya. Sehingga ia tidak merasa sendiri dalam menjalankan tugasnya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ yang marwahnya tidak akan jatuh dengan membantu pekerjaan di rumahnya. Beliau memperbaiki sandalnya sendiri, menjahit bajunya, mengangkat air di ember, dsb.
Sedang fitrah perempuan ada pada kelembutan perasaan dan pertimbangannya. Maka dengan potensi tsb Allah lebihkan perempuan atas manajerial. Bukan untuk dikuasai menjadi budak, namun sebagai mitra ke surga. Sehingga syariat menempatkan kewajiban perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt, yaitu ibu sekaligus pengatur urusan di rumahnya.
Istri sebagai makhluk yang dipimpin, juga tidak dilarang jika seandainya harus bekerja di luar rumah. Namun tetap harus memastikan rambu-rambu syariatnya di ruang publik tidak diterabas, dan suami juga telah ridho. Jika keadaan memaksa istri untuk membantu suami di luar rumah, maka hal tersebut adalah sedekahnya kepada keluarganya, dan pahala berlipat baginya.
Yang perlu diingat adalah jangan sampai ketika sang istri memiliki penghasilan sendiri menjadikan ketundukan dan takzimnya kepada suami terkikis. Serta amanahnya di rumah sebagai ibu dan pengatur urusan rumahnya menjadi terabaikan. Karena seorang istri tidak memiliki kewajiban atas nafkah.
Ibarat sebuah negara, laki-laki adalah pemimpinnya dan perempuan adalah perdana menterinya. Suami sebagai penentu kebijakan dalam rumah tangga, dan diperlukan kerjasama sang istri dalam mengeksekusi kebijakannya. Sehingga komunikasi menjadi kunci utama yang harus dijaga oleh keduanya.
Relasi yang harmonis antara ketegasan dan kelembutan bukanlah untuk mengkerdilkan yang satu dan meninggikan yang lain. Namun, harmonisasi dua kepribadian khas tersebut ditujukan untuk melahirkan bibit unggul generasi yang akan memimpin peradaban semakin mapan.
Dan rumah tangga akan menjadi ruang aman ketika suami memegang teguh dalil bagi dirinya "Sebaik-baik diantara kalian, adalah yang paling baik (perlakuannya) terhadap istri-istrinya". Sedang istri juga teguh dengan dalil ketundukannya pada suami.
Bukan saling menuntut, tapi tuntut diri sendiri sudahkah Allah ridho. Allah akan pelihara keduanya bila Dia yang dijadikan penengah. Tidak ada kepemilikan laki-laki atas perempuan. Yang ada hanya Allah yang menjadi pemilik keduanya.
Cukuplah syariat Allah sebagai standar, demikianlah bayti jannati Allah karuniakan yang hanya ada dalam institusi pernikahan.
Tags
Opini