Mempertanyakan Sikap Indonesia Terhadap LGBT




Oleh: Tri S, S.Si



Parlemen Rusia mensahkan RUU yang melarang LGBT, demi membela moralitas dihadapan apa yang mereka anggap sebagai nilai-nilai dekaden "non-Rusia" yang dipromosikan oleh barat. Larangan propaganda ini berlaku bagi orang dewasa hingga anak-anak. Di bawah RUU itu, setiap peristiwa atau tindakan yang dianggap sebagai upaya mempromosikan LGBT, termasuk melalui daring, film, buku, iklan, atau di depan umum, dapat dikenakan denda berat. Denda bisa mencapai 400.000 rubel (Rp103 juta) untuk individu dan hingga 5 juta rubel (Rp1,2 miliar) untuk badan hukum (Kompas, 24/11/2022).


Pada 2015, Yahya Jammeh, Presiden Gambia pernah memberlakukan UU kriminalisasi kaum gay dengan ancaman hukuman mati. Saat itu ia mengatakan, “Jika kau lelaki dan ingin menikahi lelaki lainnya di negara ini dan kami menangkapmu, tidak akan ada yang melihatmu lagi, dan tidak ada orang kulit putih yang bisa membantumu.”

Pada 2019, Sultan Sultan Hassanal Bolkiah, pemimpin kerajaan Brunei Darussalam, dikecam dunia internasional lantaran menerapkan hukuman rajam sampai mati bagi pelaku zina dan hubungan seks sesama jenis. Tiga kepala negara ini sangat tegas menolak dan melarang eksistensi LGBT di negaranya. Lalu, bagaimana dengan sikap Indonesia? 


Seharusnya ini menjadi tamparan keras bagi penguasa negara lain yang masih mendukung bahkan melegalkan LGBT di negara yang sedang mereka pimpin. Termasuk Indonesia yang dikenal sebagai penduduk muslim terbanyak di dunia. Padahal kita ketahui bersama Rusia bukan negara terbesar muslim di sana. Mereka masih mengusung sistem sekuler liberal. Lalu bagaimana keberadaan LGBT sendiri di Indonesia? Eksistensi LGBT di Indonesia kian mengkhawatirkan. Survei nasional oleh SMRC 2018 menunjukkan 57,7% publik berpendapat bahwa LGBT punya hak hidup di negara kita, 41,1% berpendapat sebaliknya. Dari survei ini, ada pergeseran pandangan masyarakat mengenai LGBT sebagai pilihan orientasi seksual yang harus dihormati.


Komunitas LGBT juga makin berani unjuk gigi di hadapan publik. Sebagai contoh, kontroversi podcast Deddy Corbuzier dengan Ragil Mahardika, pria asal Indonesia yang berdomisili di Jerman yang secara terbuka menceritakan orientasi seksualnya. Meski akhirnya podcast tersebut dihapus pihak Deddy lantaran banyak dikecam masyarakat Indonesia. Yang terbaru, MUI menolak Jessica Stern, utusan khusus AS di bidang LGBTQI+ datang ke Indonesia. Begitu pula penolakan ormas Islam terkait kontes busana transpuan di Surabaya. Umat Islam Surabaya menentang keras acara tersebut karena mengampanyekan LGBT berkedok kontes busana. Acara yang sedianya terlaksana pada 24-11-2022 itu akhirnya batal digelar. 


Reaksi keras masyarakat terhadap komunitas LGBT menunjukkan bahwa keberadaan LGBT tidak dapat diterima di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia. Gerakan LGBT memang wajib diwaspadai sebagai propaganda dan kampanye global dengan tujuan mendapat legalisasi dan pengakuan atas eksistensi mereka. Berbagai upaya mereka lakukan agar diakui di seluruh dunia. LGBT bukan sekadar persoalan perilaku menyimpang individu, tetapi sudah menjelma menjadi gerakan internasional yang terstruktur dan sistematis.


Pertama, gelontoran dana besar. Berdasarkan dokumen UNDP PBB “the Being LGBT in Asia” menyebutkan ada delapan negara menjadi prioritas proyek LGBT, yaitu Cina, Filipina, Indonesia, Kamboja, Mongolia, Nepal, Thailand, dan Vietnam. Suntikan dana yang tersedia sebesar 8 juta dolar AS. Wajar saja komunitas ini makin di atas angin dan tidak lagi malu memublikasikan orientasi seksualnya di ruang publik. Mereka juga mendapat dukungan dari puluhan korporasi multinasional yang membuat keberadaan komunitas ini makin besar kepala dan banyak menuntut haknya dengan mengatasnamakan HAM.


Kedua, media sosial sebagai sarana propaganda. Dengan kemajuan teknologi saat ini, kelompok LGBT melakukan segala cara agar mendapat pengakuan dan legalitas dari negara untuk dapat hidup sebagai kaum gay dan homo. Mereka kerap memanfaatkan media sosial untuk saling berkomunikasi dan mengagendakan pertemuan bersama serta memperkuat komunitas mereka. Pada Februari 2016, Komnas HAM menyatakan komunitas LGBT adalah legal dengan dalih HAM. Dengan dalih ini pula, mereka menolak RKUHP yang menyebutkan ancaman pidana bagi kesusilaan dan hubungan seks sesama jenis dalam situasi dan cara tertentu. Namun, Wamenkumham buru-buru mengklarifikasi bahwa RKUHP netral gender, tidak ada pasal yang mengatur pidana khusus untuk LGBT.


Ketiga, propaganda dan kampanye masif. Dahulu, komunitas ini bergerak secara sembunyi-sembunyi dan tidak menampakkan diri. Namun perlahan, komunitas LGBT terus menunjukkan diri dan aktif secara politik. Bahkan, secara struktural mereka membangun jaringan komunitas global dengan satu agenda besar, yaitu melegalkan pernikahan sejenis. Hal ini sendiri diamini dan direalisasi oleh banyak negara, terutama Eropa. Aksi pose tutup mulut Timnas Jerman saat sesi foto di Piala Dunia Qatar 2022 menunjukkan besarnya dukungan Barat untuk komunitas LGBT. Untuk permainan olahraga sekelas sepak bola pun harus mengikuti kampanye LGBT dengan penggunaan ban Kapten Pelangi di setiap gelaran kompetisi liga di Eropa. Tentu ini menjadi keprihatinan sendiri bagi kita semua, yang masih dalam koridor kewarasan. 


Kita masih menjaga panji-panji kebenaran, menjaga para generasi kita. Anak cucu kita kelak terhindar dari LGBT. Sungguh sangat miris memang. Dan sekarang kita menanti ketegasan dari para pemimpin negeri ini untuk mengambil sikap tegas terhadap perilaku LGBT. Sikap pemimpin tiga negara yang melarang LGBT berkembang biak tadi tentu patut kita apresiasi. Negeri kecil di Afrika, seperti Gambia, juga Asia sebagaimana Brunei Darussalam saja berani melawan kampanye global LGBT, masa’ Indonesia sebagai negeri yang luas wilayahnya lebih besar dan berpenduduk muslim terbesar dunia malah menciut tatkala diminta tegas menghukum perilaku menyimpang ini Memang, hukum di Indonesia tidak mengatur pidana LGBT secara terperinci. Bahkan, UU yang ada tidak memasukkan perilaku LGBT sebagai tindak kriminal.


Meskipun desakan untuk melarang LGBT sudah bergulir sejak lama, tetapi pemerintah tampaknya kurang serius menanggapinya. Indonesia kurang bertaji untuk melawan kebijakan global. HAM dan kebebasan masih menjadi standar ganda. Jika terkait hukuman rajam bagi pelaku LGBT, para pengusung HAM menuding Islam sebagai “agama barbar” yang tidak manusiawi. Namun, pada saat yang sama, mereka seakan amnesia dengan HAM itu sendiri. Para pegiat LGBT mengatakan ingin mendapat hak hidup yang sama layaknya manusia normal lainnya.


Lantas, bagaimana dengan hak hidup masyarakat yang juga ingin menjalani hidup normal tanpa merasa waswas dengan merajalelanya perilaku menyimpang yang merusak generasi muda? Sebagai negeri mayoritas muslim, sudah seharusnya Indonesia mengacu pada hukum Islam, terlebih Islam merupakan agama mayoritas penduduknya. Sayangnya, pemimpin sekuler hari ini justru termakan narasi “mayoritas melindungi minoritas” yang menuntut agar LGBT dapat diterima dan dihormati haknya sebagai manusia. Inilah yang membuat kelompok tersebut leluasa menyebarkan perilaku menyimpangnya ke generasi muda. 


Dan seperti yang disebutkan di atas tadi. Indonesia merupakan negara terbesar dengan penduduknya yang mayoritas muslim. Sudah selayaknya mengacu kepada hukum Islam. Dan bagi seorang muslim keyakinan akan hukum Allah sebagai hukum terbaik seharusnya senantiasa dipegang. Islam melarang perilaku menyimpang seperti LGBT. Allah Taala berfirman, “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS Hud: 82—83).


Ayat ini menjelaskan secara gamblang bahwa perbuatan LGBT  bertentangan dengan fitrah manusia dan Allah menurunkan azab atas perbuatan tersebut. Keharaman LGBT juga tercantum dalam sabda Nabi saw., “Siapa saja yang engkau dapati mengerjakan perbuatan homoseksual, maka bunuhlah kedua pelakunya.” (HR Abu Dawud 4/158, Ibnu Majah 2/856, At-Tirmizi 4/57, dan Darru Quthni 3/124).


Islam secara tegas melarang perbuatan LGBT dan memberi sanksi keras atas perbuatan tersebut. Sementara itu, dalam hukum buatan manusia, perilaku menyimpang masih bisa mendapat celah dengan dalih kemanusiaan atau HAM karena dalam sistem sekuler, agama tidak menjadi acuan bernegara. Walhasil, hukum yang dihasilkan dapat dikompromikan sekalipun bertentangan dengan syariat Islam. 


Syariat datang demi tercapainya maslahat bagi manusia dalam bentuk yang paling sempurna dan baik, di dunia maupun akhirat. Di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat, dan maslahat tidak akan pernah menyelisihi syariat. Setiap muslim harus meyakini sepenuh hati bahwa hukum Allah adalah hukum terbaik dalam mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Tidak ada cara lain memberantas LGBT, kecuali dengan menerapkan sistem Islam kaffah. Hanya dengan ini generasi terselamatkan dan negara terhindar dari kerusakan. Wallahualam bi shawab..

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak