Sumber ilustrasi: cityu.edu
Oleh: Ummu Diar
Innalillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun. Duka mendalam masih terasa atas banyaknya musibah di sekitar kita. Namun, apa mau dikata, kendati musibah membawa dampak luar biasa, namun ianya tak mungkin datang bila bukan atas izinNya. Dalam Alquran Surat Attaghabun ayat 11, Allah berfirman yang artinya "Tidak ada musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin (kehendak) Allah."
Bukan hal yang mudah mengedepankan sikap iman ketika musibah terjadi. Namun bila itu sudah menjadi qadha' dari Allah, sekuat apapun hamba tentu tidak dapat menghindari apa yang terjadi. Maha Baik Allah, yang kemudian memberikan pahala bagi siapa saja yang ridho atas apa yang sedang terjadi.
"Sungguh besarnya pahala itu seiring denga besarnya ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Siapa saja yang ridha, untuk dia keridhaan itu. Siapa saja yang benci, untuk dia kebencian itu (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Baihaqy). Oleh karena itu, memang kesabaran tidak bisa dijauhkan ketika berhadapan dengan sesuatu di luar dugaan.
Hanya saja, sabar bukan berarti cukup diam dan pasrah menerima kenyataan. Sabar atas perlu diiringi dengan tawakal, muhasabah, sekaligus ikhtiar untuk segera teratasinya keadaan. Beriringan dengan adanya musibah, Allah juga tetapkan perlindungan-Nya, terlebih bagi mereka yang beriman yang bertawakal (lihat QS At-Taubah: 51). Dan sebagai salah satu bentuk tawakal kepada-Nya, mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah kemudian banyak berdoa dan mendekat lagi kepadaNya adalah pilihan terbaik.
Sebab bagaimanapun juga, kita tidak pernah tahu atas alasan apa musibah bisa sampai kepada kita. Entah murni musibah ataukah ada maksud ujian agar ada muhasabah dari semuanya. Dalam firmanNya di QS Asy-syura ayat 30 Allah mengingatkan bahwa musibah yang menimpa bisa dikarenakan perbuatan (dosa). Dan dalam ayat yang sama Allah menerangkan bahwa Ia akan memaafkan sebagian besarnya. Oleh karena itu musibah bisa jadi momentum muhasabah dan taubat.
Sedangkan bagi yang tidak turut terkena musibah, maka ada tuntunan untuk memberikan bantuan. Terutama bagi seorang muslim, yang hakikatnya bersaudara secara aqidah. Sehingga apa yang menimpa saudaranya hakikatnya seperti mereka sendiri yang merasakan. Membantu sesuai kemampuan setidaknya dapat memperbaiki kondisi korban musibah yang terjadi.
Bersyukurnya di era digital seperti saat ini, informasi apapun bisa cepat sampai ke yang lain. Termasuk musibah yang terjadi bisa segera dapat bantuan, baik itu dari individu per individu ataupun dari komunitas kemasyarakatan. Dengan adanya kecanggihan teknologi pula, penggalangan dana dari berbagai daerah dapat segera sampai ke yang membutuhkan.
Hanya saja kapasitas individu dan komunitas dalam mengulurkan tangannya bagi korban musibah belum dapat dikatakan cukup. Sebab di lapangan, bisa jadi ada korban yang terisolir di medan yang sulit dijangkau. Akibatnya mereka merasakan kepedihan yang lebih lama sembari menunggu bantuan datang. Sementara individu dan komunitas tidak punya kapasitas super untuk menjangkau semua lokasi dalam waktu singkat.
Berbeda cerita ketika pemimpin (di atas kapasitas individu dan komunitas masyarakat) yang turun tangan, maka bantuan dan penanganan apapun bisa disegerakan. Sebab pemimpin memiliki "will" yang bisa memobilisasi dalam jumlah besar, bisa mengerahkan instrumen maupun kendaraan apapun untuk menuju lokasi yang sulit dijangkau sekalipun, termasuk bisa menggerakkan lembaga mana saja untuk segera bersama turun ke lapangan.
Bahkan pemimpin lah yang memiliki kapasitas lebih untuk mengatasi rentetan dampak musibah termasuk membangunkan kembali rumah dan sarana yang dibutuhkan di lokasi musibah. Sebab besarnya anggaran yang dibutuhkan serta banyaknya tenaga yang perlu diterjunkan sejatinya dapat dikendalikan melalui sejumlah realokasi maupun re-disposisi yang kendali utamanya di tangan pemimpin.
Kisah musim paceklik di masa Umar bin Khattab dahulu adalah teladan emas bagaimana merealisasikan amanah dengan maksimal terutama ketika ada musibah. Umar dan pemimpin setelahnya sadar bahwa amanah ini bukan sekadar nampak di dunia, melainkan akan dibawa pertanggungjawabannya hingga akhirat kelak. Rasulullah bersabda: "Pemimpin manusia adalah pengurus mereka dan dia bertanggungjawab atas urusan rakyatnya (HR. Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad).
Oleh karenanya pemimpin yang mengedepankan ketakwaan akan berhati-hati dengan amanahnya. Mereka akan menunaikan apa yang menjadi tanggungjawabnya semaksimal mungkin. Maksimal mengurusi rakyat dengan mengikuti petunjuk syariat. Imam An-Nawawi di dalam syarah shahih muslim menjelaskan bahwa mengurus urusan rakyat yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum Islam serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Kaliber pemimpin seperti inilah yang perlu dihadirkan.[]