KETIKA KAUM PELANGI GENCAR DINORMALISASI



Oleh : Ummu Aqeela

Sepakbola merupakan cabang olahraga yang paling populer diseluruh dunia. Hampir disemua negara, sepakbola menjadi daya tarik tertentu bagi masyarakatnya. Saking mendunianya sepakbola, pengaruhnya pun besar dalam berbagai hal. Kini, sepakbola bukan hanya sebuah cabang olahraga saja, melainkan sebuah internainment besar. Berbagai hal bisa masuk kedalamnya, mulai bisnis, politik bahkan salahsatunya adalah kampanye kebebasan hak kaum LGBT.

Hal ini menarik untuk diteliti karena aktifis pro LGBT sudah berhasil mengangkat permasalahan ini ke dunia olahraga paling populer khususnya dalam menyebarkan paham-paham kebebasan kaum LGBT.
Dalam menyebarkan pahamnya, mereka selalu dibantu dan di junjung oleh negara-negara Barat, seperti Jerman, Inggris, Prancis dll. Bahayanya, negara-negara Barat merupakan pusatnya sepakbola. Dimana mereka menjadi pusat tontonan dan contoh bagi negara-negara lain dalam pengembangan sepakbola. Seperti liga Inggris yang menjadi liga nomor satu didunia, banyak negara-negara yang menyiarkan tayangannya.

Oleh karenanya, dampak dari kampanye LGBT akan sangat terasa ketika gerakan ini disusupkan ke liga-liga besar dunia. Seluruh dunia akan memperhatikan dan ikut menaruh perhatian dalam kampanye yang digalakkan.

Selama ini mungkin kita melihat gerakan penegakan hak-hak LGBT hanyalah sebuah gerakan kecil. Kelompok minoritas yang terpinggirkan. Kalah jumlah dan tidak terorganisasi dengan baik serta mengalami diskriminasi dan pelecehan.

Tapi itu dulu. Hari ini gerakan LGBT telah bertransformasi dan berkolaborasi dengan para pendukungnya dari berbagai kalangan. Baik agamawan, akademisi, aktivis, media massa terkemuka, profesional, pemimpin negara hingga konglomerat. Untuk yang terakhir ini, pada satu pertemuan tahun 2008 di Bellagio, Italia, 29 pemimpin internasional berkomitmen untuk memperluas filantropi guna mendukung hak-hak LGBT.

Dalam pertemuan tersebut, bersamaan dengan Stryker dan Ise Bosch, pendiri Dreilinden Fund di Jerman, ada pula Michael O’Flaherty—salah satu pengusul The Jogyakarta Principles yang saya singgung di atas. Adapun Jon Stryker adalah cucu dari Hormer Stryker , seorang ahli ortopedi yang mendirikan Stryker Corporation.

Berbasis di Kalamazoo , Michigan, Stryker Corporation menjual perlengkapan bedah dan perangkat lunak senilai Rp. 210 triliun. Pada tahun 2018, Jon sang pewaris kekayaan adalah seorang gay. Tahun 2000 ia mendirikan Arcus Foundation, organisasi nirlaba yang melayani komunitas LGBT. Ia telah memberikan lebih dari Rp. 905 miliar untuk program dan organisasi yang melakukan pekerjaan terkait LGBT. Hal itu membuat Jon Stryker menjadi salah satu penyandang dana LGBT terbesar di dunia. Stryker memberikan lebih dari 30 juta dollar AS kepada Arcus sendiri selama tiga tahun melalui sahamnya di Stryker Medical Corporation.

Dalam konsep adaptasi, kita paham bahwa semakin kita sering berinteraksi dengan sesuatu hal yanh awalnya asing bagi kita, maka akan semakin kita bisa menerima hal asing tersebut. Semakin sering kita bersinggungan dengan sesuatu yang kita nilai tidak normal, maka kita akan semakin normal. Maka dengan gencarnya konten-konten dan tontonan “lagibete” diangkat ke sosial media, melalui tangan-tangan influencer dengan follower tidak sedikit tentu itu bagian dari upaya kampanye dan normalisasi. Karena untuk bisa dianggap normal, untuk bisa diterima, harus banyak dipublish supaya pada akhirnya dianggap sebagai hal yang wajar, biasa dan normal.

Apa yang harus kita lakukan?

Adalah hal yang keliru ketika kita memilih untuk bodoh amat dengan fenomena yang terjadi. Karena semakin ketidaknormalan dibiarkan menyebar maka akan semakin dianggap normal. Menormalisasi “lagibete” adalah hal yang membahayakan bagi masa depan generasi. Kita harus tegas jadi bagian yang membungkan upaya upaya normalisasi kemaksiatan dengan apapun yang kita bisa.

Maka ketika kita menemukan konten-konten berbau “lagibete” segera report agak tidak makin menyebar. Dengan lantang suarakan bahwa “lagibete” adalah perbuatan menyimpang yang dilaknat oleh Allah, tidak ada ruang untuk menormalisasi meskipun dengan dasar Hak Asasi. Penyimpangan tetaplah penyimpangan meski saat ini orang-orang ramai mempertontokannya. Tugas kita sekuat tenaga mendakwahkan dan memberi pemahaman agar para pelaku maupun yang mendukungnya lekas sadar dan meraih hidayahnya.

Dengan bergandengan dan bekerjasama antara tiga pilar utama yaitu keluarga , masyarakat dan negara maka kita akan memiliki kekuatan dahsyat melawat maksiat. Namun semua itu tidak akan mampu jika aturan atau syari’at yang diadopsi adalah syari’at yang terlahir dari pemikiran manusia. Karena kita paham betul paham manusia selalu mengedepankan hawa nafsunya. Kembali ke aturan Allah dan petunjuk Allah maka langkah kita tidak akan pernah salah, selama setiap langkah yang terayun mengarah kepada Allah dan Rasul-NYA.

Wallahu’alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak