Penulis : MERI
Beberapa waktu yang lalu, Perempuan Bangsa Jawa Barat yang merupakan organisasi sayap dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengadakan pelantikan pengurus Perempuan Bangsa Kota Cirebon di salah satu hotel kawasan Gunungsari pada 23 November 2022 (radarcirebon.com). Usai melantik pengurus, Ketua Perempuan Bangsa Jawa Barat tersebut mendorong keterlibatan aktif kaum perempuan di kancah potitik. Sebab baginya, semakin banyak perempuan yang menduduki jabatan publik melalui jalur politik, maka kepentingan kaum hawa dapat lebih mudah terakomodir. Regulasi pemerintah berupa kuota minimal 30 persen bagi perempuan dari tiap pencalonan legislatif masing-masing partai politik dianggap telah mengakomodir keterwakilan perempuan dan peluang kaum hawa di kancah politik, tambahnya. Lalu, benarkah keterwakilan perempuan ini menjadi jaminan untuk menuntaskan masalah perempuan?
Jika kita telisik permasalahan perempuan, maka akan kita dapati begitu banyak fakta permasalahan. Diantaranya tingginya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, perdagangan manusia, eksploitasi, stunting pada anak mereka, dan lain-lain. Sebagai contoh, kasus perceraian yang terjadi di tingkat kota dan kabupaten Cirebon mencapai 6.638 kasus terhitung mulai dari bulan Januari hingga September 2022 (detik.com dan rmoljabar.id). Belum lagi angka stunting yang kian tinggi terjadi di negeri ini. Jumlah angka stunting berdasarkan perhitungan bulan Agustus 2020 mencapai 13,6 persen dari jumlah balita yang ada di kota Cirebon (cirebonkota.go.id). Sedangkan untuk kabupaten Cirebon angka stunting pada balita mencapai 9,4 persen. Padahal, keterlibatan perempuan di parlemen khususnya Kota Cirebon meningkat hingga 28 persen pada tahun 2021. Hal ini menjadi bukti bahwa keterwakilan perempuan di kancah politik belum mampu menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa perempuan.
Pada kasus perceraian, kita dapati sagian besar kasus merupakan cerai gugat atau sang istri yang mengajukan gugatan perceraian terlebih dahulu. Sedangkan untuk faktor pemicu perceraian didominasi oleh faktor ekonomi, kemudian perselisihan atau pertengkaran, dan dilanjuti dengan faktor KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Faktor ekonomi jelas mendominasi, sebab dalam sistem sekulerisme saat ini, seorang wanita ditempatkan pada situasi yang berat, harus bekerja demi memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) serta minimnya fasilitas negara yang menopang kebutuhan umum seperti kesehatan dan keamanan. Kemudian, untuk permasalahan stunting pada anak, kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi anak sebelum kehamilan menjadi salah satu penyebabnya. Terbatasnya layanan kesehatan seperti pelayanan antenatal, pelayanan post natal, rendahnya akses makanan bergizi, serta sulitnya akses sanitasi dan air bersih juga menjadi faktor yang menyebabkan angka stunting ini semakin meningkat. Hal ini pun tak lepas dari peran negara turut memberi pengaruh terhadap kasus stunting ini, baik dari sisi pendidikan kepada sang ibu serta kurang maksimalnya layanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat luas.
Dari sini nampak jelas bahwa akar permasalahan tersebut yakni karena penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini mendorong perempuan untuk menjadi mesin penggerak ekonomi serta mengeksploitasi perempuan hingga mencabut fitrah perempuan dan keibuannya. Belum lagi dengungan-dengungan yang dilontarkan penganut paham feminisme, mulai menghancurkan benteng pertahanan terakhir yaitu aturan-aturan dalam keluarga. Slogan “tanpa lelaki, wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhannya” terus-menerus diserukan. Hal ini dapat menjadi faktor yang dapat membesarkan perselisihan kecil dalam rumah tangga hingga berakhir perceraian.
Oleh karena itu, sebanyak apapun keterlibatan perempuan dalam parlemen tidak akan mengubah tatanan hidup kapitalis sekuler. Sehingga tentu tak akan mampu menyelesaikan masalah perempuan.
Sesungguhnya kita membutuhkan sebuah aturan yang dapat menyelesaikan permasalahan perempuan hingga ke akarnya. Peraturan yang akan mengubah kehidupan secara sistematik yang terhubung dengan aspek lainnya seperti ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya. Aturan ini tentu harus berasal dari sumber yang sempurna, Yang Maha Mengetahui solusi paling tepat untuk menyelesaikan rumitnya kondisi saat ini. Aturan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah aturan dari Allah SWT yang diturunkan-Nya melalui syariat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu…” (TQS. Al-Maidah : 3).
Penerapan aturan Islam yang sempurna akan mensejahterakan seluruh masyarakat tanpa memandang gendernya, laki-laki maupun perempuan. Negara pun hadir dalam memberi jaminan pemenuhan kebutuhan serta perlindungan kepada masyarakat termasuk bagi perempuan. Perempuan tak lagi khawatir memikirkan beban kebutuhan rumah tangga yang bermacam-macam, serta tak lagi merasa gelisah ketika keluar rumah karena dihantui rasa tak aman seperti saat ini. Islam juga mengarahkan potensi terbaik perempuan tanpa mencabut fitrahnya. Peran politik perempuan dalam Islam adalah mendidik generasi dan umat dengan Islam kaffah (sempurna) dan turut dalam perjuangan politik (mengurusi urusan umat) melalui penerapan Islam kaffah.
Wallahu’alam bi shawab.
Tags
Opini