Oleh : Maulli Azzura
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memutuskan untuk memberi izin impor beras sebanyak 500 ribu ton kepada Bulog. Langkah ini diambil untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP) yang menipis jelang akhir tahun.
Adapun, stok beras Bulog tercatat sebanyak 594.856 ton, yang terdiri atas 168.283 ton (28,29 persen) beras komersial dan 426.573 (71.71 persen) stok CBP hingga 21 November lalu. Sampai akhir tahun diperkirakan hanya tertinggal 200 ribu ton. Rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun di Indonesia adalah 113,72 kg. Jika dikalikan dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta, maka kebutuhan beras dalam setahun di Indonesia adalah 30.7 juta ton beras. Nilai yang fantastik ini memposisikan beras sebagai bahan pangan yang penting dan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kestabilan perekonomian nasional. (cnnindonesia.com 08/12/2022)
Beras menjadi bahan pokok dinilai vital dalam kelangsungan hidup hajat rakyat. Sehingga ketersediaannya pun harus mencukupi tidak boleh kurang. Dengan luasnya lahan dinegri kita ini, harusnya ketersediaan pangan berupa beras tercukupi. Bahkan bisa jadi hasil beras menjadi komoditi expor yang menjanjikan. Dilihat dari negara Indonesia adalah mayoritas petani dan lahan luas yang memadai untuk produksi.
Sebenarnya perihal impor beras telah diatur dalam UU no. 18 th 2012. Ringkasnya pemerintah mengatur ketersediaan beras sebagai ketahanan pangan nasional dan pemerintah mempunyai obligasi tersebut. Namun impor beras dari tahun ke tahun mengalami peningkatan , sehingga menuai banyak polemik, baik dari kalangan akademis maupun masyarakat. Sehingga ada angka penurunan penghasilan dari penjualan beras dalam negri oleh petani. Sedangkan hal tersebut akan berakibat buruk dari perekonomian para petani sebagai mata pencahariannya.
Penurunan jumlah pembeli beras dalam negri dengan hadirnya produk luar negri ditambah daya saing harga yang relatif murah, maka semakin anjlok komoditi beras dalam negri yang mencekik para petani.
Pertanyaan besarnya adalah, mengapa impor selalu dilakukan meskipun selalu ada penolakan?
Setidaknya ada beberapa point penting yang wajib kita bahas mengapa pemerintah terutama Bulog semakin acuh dengan nasib petani dalam negri yang mengindikasikan interest dan kekuasaan.
1. Ada dualism fungsi BULOG sebagai BUMN yang harus mendapatkan keuntungan dan sebagai stabilisator harga pangan di dalam negeri. Sehingga peran Bulog yang utama telah tercemari bisnis yang menggiyurkan para pemangku kekuasaan.
2. Adanya politik luar negri yang kebablasan yang sarat dengan liberalisasi perdagangan beras. Misal saja impor beras dari Vietnam, ini wujud liberalisasi politik luar negri yang dilakukan oleh penguasa dengan negara tetangga. Sehingga menghasilkan kerjasama yang sarat dengan keuntungan oligarkinya.
3. Adanya praktik kartel yang dimainkan oleh beberapa gelintir aktor. Kartel beras tumbuh salah satunya disebabkan oleh adanya struktur kebijakan ekspor-impor. Munculnya Peraturan Menteri Perdagangan (permendag) no 1 tahun 2018 tentang ketentuan ekspor-impor beras mendorong munculnya kartel. Sehingga nasibnya pun sama seperti terjadinya kelangkaan minyak dan sejenisnya. Lagi- lagi para praktikal ini dinaungi oleh kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
4. Keterlibatan fihak swasta dengan penguasa. Dengan kaki nya (Bulog) menjalin hubungan bisnis impor beras dengan swasta. Padahal sangat jelas dalam Islam beras termasuk padang hijau yang mempunyai arti kepemilikan umum, dan harusnya dikelola oleh negara tanpa melibatkan swasta, terlebih indonesia negara agrari gemah ripah loh jinawi. Harusnya dengan tata kelola yang baik, pemerintah tidak butuh impor pangan.
Pada akhirnya impor beras adalah antara pemenuhan pangan yang liberal dan kontestasi aktor dalam tiap bulir berasnya, sedangkan cita-cita mensejahterakan masyarakat, khususnya adalah petani sudah sangat jauh dari hati nurani para pembuat kebijakan.
Na'udzubillah min dzaliq tsumma na'u dzubillah