Kasus Terorisme Dan Peningkatan Deradikalisasi




Oleh : Ummu Hadyan


Aksi terorisme kembali terjadi di Indonesia. Kali ini, bom bunuh diri meledak di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung pada Rabu (7/12/2022) pagi kemarin. Ledakan bom tersebut membuat seorang anggota polisi menjadi korban meninggal dunia. Sementara 10 lainnya termasuk warga, mengalami luka-luka. (Detik.com 8/12/2022)

Dalam penyelidikan polisi diketahui pelaku bom bunuh diri itu ialah Agus Sujatno alias Agus Muslim, mantan napi terorisme (napiter). Polisi menyebut Agus terafiliasi dengan jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung.

Persoalan deradikalisasi pun mencuat kembali setelah diketahui bahwa pelaku aksi bom bunuh diri ini adalah seorang mantan napi teroris yang sudah keluar dari penjara. Sebuah data menyebutkan bahwa sebanyak 10 persen dari napi teroris yang sudah dibebaskan di Indonesia kembali melakukan atau mendukung aksi kekerasan.

Kepala staf angkatan laut laksamana TNI Yudo Margono menyatakan peristiwa ledakan bom dipolsek Astana anyar kota Bandung Jawa Barat harus dijadikan momentum untuk memperkuat berjalan nya program deradikalisasi dimasa depan.

Senada dengan itu, Wapres Ma'ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia kembali mengefektifkan tim penanggulangan terorisme atau TPT yang sebelumnya dibentuk untuk mengurangi benih benih terorisme.

Kasus bom bunuh diri di Bandung ini telah menjadi pemantik peningkatan deradikalisasi. Komitmen ini makin nyata dengan pengesahan RKUHP dengan adanya pasal 191 RKUHP yang menyatakan bahwa makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.

Hal ini makin menyederhanakan definisi makar sehingga seseorang makin mudah mempidanakan orang lain. Hal ini memperlihatkan bahwa negara makin represif terhadap rakyat dan makin gencar melakukan upaya deradikalisasi.

Negara makin taat pada komitmen global yang sejatinya merupakan bentuk serangan terhadap Islam. Sebagaimana kita pahami bersama, perang memerangi terorisme maupun perang melawan radikalisme merupakan propaganda barat untuk menyerang Islam.

Saat ini barat dibawah pimpinan Amerika Serikat lebih sering menggunakan istilah perang melawan radikalisme ketimbang perang melawan terorisme. Mungkin karna proyek perang melawan radikalisme itu memiliki objek sasaran yang lebih luas.

Perang melawan radikalisme dapat digunakan untuk menyasar siapapun yang anti barat baik pada aspek pemikiran  maupun politik. Misalnya umat Islam yang ingin menerapkan Islam secara kaffah dan menegakkan kembali khilafah dapat mereka tuding sebagai kelompok radikal.

Tentu ini merupakan langkah barat untuk melanggengkan ideologi Kapitalisme dan Imperialisme nya didunia, khususnya di negeri negeri Islam. Melalui propaganda perang melawan radikalisme, barat dapat melakukan framing negatif dengan memberikan stigma radikal tersebut kepada muslim yang menentang ideologi Kapitalisme.

Sebaliknya, mereka memuji muslim yg pro Kapitalisme sebagai moderat. Para penganut Islam moderat jelas menolak formalisasi syariat oleh negara dalam format sistem Khilafah. Padahal Khilafah merupakan ajaran Islam sebagaimana akidah, akhlak dan mu'amalah.

Istilah radikalisme oleh barat telah menjadi alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kemudian melahirkan Islamophobia di Barat dan diseluruh dunia. Oleh karna itu kemunculan Islamophobia tidak bisa dilepaskan dengan perang peradaban Islam dengan Kapitalisme.

Ideologi Kapitalisme sejatinya kini sedang berada ditepi jurang kehancurannya. Sejalan dengan itu, Amerika serikat sebagai pusat Kapitalisme dunia juga sedang dilanda berbagai keterpurukan, berbagai gejolak politik, ekonomi, sosial serta kondisi buruk akibat pandemi diprediksi akan mempercepat fase kejatuhan Ideologi Kapitalisme tersebut.

Pada konteks perang peradaban, kondisi ini sangat menguntungkan bagi umat Islam yang sedang berjuang mengembalikan Ideologi Islam ke pentas kehidupan melalui berdirinya kembali negara Khilafah. 

Apalagi secara internal kesadaran umat Islam untuk membangun kembali institusi Khilafah kini makin menguat. Hal tersebut tentu   terkait dengan makin meningkatnya pemahaman umat terhadap ide Khilafah sebagai ajaran Islam.

Diperkuat pula oleh kenyataan bahwa kondisi keterjajahan dan keterpurukan umat Islam saat ini memang membutuhkan institusi Khilafah sebagai kekuatan global untuk menyelesaikannya.

Ideologi Islam adalah halangan terbesar atas eksistensi Ideologi Kapitalisme sekuler. Orang orang kafir barat akan senantiasa mencari jalan agar umat ini tetap terlelap dengan ide ide mereka. Menghalau stigma radikal terhadap Islam memang harus dilakukan tetapi bukan berarti menjadi pengusung moderasi. 

Umat Islam harusnya punya agenda sendiri menuju kebangkitan Islam yang hakiki yakni berdakwah memberi kesadaran pemahaman yang benar kepada umat, menjelaskan kerusakan ide ide yang bertentangan dengan Islam, mengkaji Islam kaffah agar tidak terjebak pada pemikiran yang salah, serta menguatkan ikatan akidah dan ukhuwah agar tidak mudah dipecah belah oleh musuh Islam. 

Pemahaman inilah yang harus ditanamkan pada umat Islam hingga hukum hukum Islam tegak dimuka bumi ini dalam naungan Khilafah dan membawa kerahmatan bagi seluruh alam.

Wallahu a'lam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak