Ditulis Oleh: Sri Wahyu Anggraini, S.Pd
(Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Acara Nusantara Bersatu yang digelar Relawan Jokowi menyisakan sampah berserakan yang mengotori Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta Pusat, Penampakan lautan sampah di GBK tersebut menjadi sorotan publik dan berujung viral di media sosial. (CNNIndonesia.com, 27/11/2022)
Selain menghasilkan tumpukan sampah, acara ini juga menggambarkan empati yang terkikis. Padahal negeri ini belum lama diguncang bencana gempa di Cianjur dan para korban masih banyak yang membutuhkan pertolongan dan bantuan.
Dilansir dari Antara.com Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengerahkan 500 personel pasukan oranye untuk membersihkan dan mengangkut sampah dan berhasil mengumpulkan total 31 ton beragam jenis sampah usai acara tersebut. "Semua terlibat dalam membereskan sampah ini, baik dari kasudin, kasatpel, hingga petugas jasa layanan perorangan semua terlibat," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta.
Total 31 ton sampah yang dikumpulkan oleh pasukan oranye ada lokasi itu di antaranya sampah plastik dari botol kemasan air minum. Selain personel, pihaknya juga mengerahkan puluhan kendaraan yang terdiri dari mobil lintas (pick up), mobil sapu jalanan serta truk sampah anorganik. DLH DKI Jakarta mengerahkan 28 unit mobil lintas, 14 unit mobil sabu jalanan serta 10 unit truk.
Sungguh ironis dikala duka dan lara bencana Cianjur, penguasa mengadakan pertemuan besar demi ekskalasi politik padahal pertemuan itu pastinya menghabiskan biaya yang besar apalagi ditambah suasana politik menjelang pemilu 2024. Pertemuan tersebut pasti rawan ditunggangi kepentingan pribadi dalam hal jabatan atau kekayaan. Adanya dugaan pertemuan kegiatan tersebut semakin menguatkan perpolitikan Indonesia tak lepas dari cengkraman oligarki, politisi komparador, ketua umum partai politik, dan lingkaran relawan yang menunggu jatah jabatan. Karena sudah menjadi tabiat penguasa dalam sistem kapitalis yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding urusan rakyatnya. Tabiat ini muncul karena paham kapitalis membuat penguasa hanya melihat manfaat orientasi sebagai kebijakannya, penguasa akan melihat mana peluang besar untuk menaikkan eskalasi kepemimpinannya dan berbagai cara bisa dilakukan. Mulai dari pencitraan mendatangi korban bencana demi formalitas atau mengumpulkan massal dengan klaim relawan. Bagi penguasa kapital saat itu lebih penting dibanding mengurusi korban dan secara mutlak karena politik demokrasi hanya menjaga eksistensi kapitalisme dan bahkan rela melakukan apapun demi mendapatkan simpati dari publik.
Sungguh sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Khilafah pandangan Islam Penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan
Teringat riwayat dari Ibnu Qutaibah yang telah mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahullah,
“Perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dan rakyat ialah laksana tenda besar, tiang, serta tali pengikat dan pasaknya. Islam sebagai tenda besarnya, kekuasaan sebagai tiangnya, sedangkan tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Artinya, saling ketergantungan, satu bagian tidak akan baik tanpa bagian lainnya.” (‘Uyun al-Akhbar. Juz 1 Hlm. 54)
Hubungan seperti ini bisa terjalin sebagai bentuk ketaatan pada sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam
"Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya." (HR Muslim).
Penguasa atau pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan, siapa saja yang berada di bawah kepemimpinan yang lengkap ketika khilafah pernah berdiri selama 1300 abad, kita akan menemukan begitu banyak sekali penguasa yang begitu luar biasa memberi perhatian terhadap urusan rakyatnya (Riayah suunil Ummah). Sebagaiman yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab pada masa kekuasaannya, beliau pernah mengalami bencana paceklik pada akhir tahun ke-18 Hijriyah tepatnya pada bulan Dzulhijjah, yang berlangsung selama 9 bulan. Dimana masyarakat sudah mulai kesulitan bahan pokok, kekeringan melanda di seluruh bumi Hijaz dan orang-orang mulai merasakan sangat kelaparan. Sehingga banyak dari mereka berbondong-bondong ke Madinah mencari bantuan Khalifah,
Khalifah pun amat sigap, memiliki sikap Amirul mukminin dan tanggap mendirikan tenda-tenda dan pasokan bantuan makanan yang dananya diambil dari Baitul mal. Pada saat itu bantuan tersebut mencapai 6000 penduduk. Dalam Keadaan tersebut Khalifah Umar bin Khattab beupaya dengan sangat keras untuk tetap mencukupi kebutuhan rakyatnya.
Inilah Potret penguasa dalam Sistem Pemerintah Khilafah. Dimana seharusnya Penguasa mengurusi semua urusan rakyat dengan sepenuh hati. Bukan untuk kepentingan dan eksistensi tetapi kekuasaan yang baik adalah bentuam kewajibannya dan Ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa ta'ala.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya" (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu A'lam Bishawab
Tags
Opini