Oleh : Mimin Aminah, Ibu Rumah Tangga, Pacet Kab. Bandung.
Peringatan hari anti korupsi se dunia (HAKORDIA) tahun 2022, menjadi catatan penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasalnya, kepercayaan publik terhadap institusi ini anjlok yang diduga tak terlepas dari perilaku insan didalamnya. "Citra KPK terekam berada di angka 57% paling rendah dalam lima tahun terakhir" ujar peneliti Litbang Kompas Tangga Eka Sakti, dikutip dari harian Kompas, senin (8/8 2022 ). "Dalam perjalanannya citra lembaga ini cenderung menurun, terutama setelah UU KPK di revisi pada September 2019" kata Rangga (Kompas.com)
Di Indonesia, peringatan anti korupsi sedunia makin terasa sekedar seremoni tanpa makna, apalagi pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi di kalangan politisi. Di negara ini korupsi rupanya telah menjadi persoalan yang amat kronis, ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas seantero negeri dengan jumlah dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan modus yang makin beragam. Perilaku korupsi telah membudaya mulai dari pegawai level rendah hingga pejabat negara. Pada umumnya orang korupsi itu muncul karena ketamakan akan dunia, mereka selalu merasa kurang dan tidak cukup dengan harta yang ada, mereka berusaha untuk memenuhi keinginan-keinginan demi memuaskan hawa nafsunya dan ketamakan tersebut mendorong mereka untuk menumpuk harta, sehingga ia melakukan korupsi untuk memenuhinya. k
Korupsi tidak lagi menjadi kejahatan yang serius, hukuman yang diperolehnya pun tidak membuat jera akibatnya KPK sebagai lembaga khusus untuk memberantas korupsi, kurang mendapat kepercayaan publik, kepercayaan publik makin lemah terhadap KPK, inilah fakta buruk keseriusan pemberantasan korupsi ditengah sistem Demokrasi.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam, yang menutup semua celah tindak korupsi , mengantisipasi peluang korupsi dan memberikan sanksi yang membuat jera. Dalam Islam semua celah terjadinya korupsi ditutup, mulai dari penanaman akidah Islam kepada para pejabat dan pegawai sehingga keimanan dan ketaqwaan tertancap kuat dalam jiwa mereka, dengan berbekal keimanan dan ketaqwaan yang menancap kuat dalam jiwa mereka membentuk pejabat dan pegawai yang amanah baik ditingkat daerah maupun di tingkat pusat, sehingga mereka tidak akan berpikir untuk melakukan korupsi karena mereka paham bahwa jabatannya akan dimintai pertanggung jawaban.
Ditambah dengan sistem penggajian dan tunjangan hidup yang layak maka tidak ada alasan untuk berlaku korupsi, juga perhitungan harta kekayaan dan pembuktian terbalik menjadi cara yang efektif untuk mencegah korupsi sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khathab dalam massa jabatannya, Khalifah Umar bin Khathab menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya, apabila terdapat kenaikan yang tidak wajar maka pejabat tersebut diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya didapat dengan cara yang halal, bila tidak bisa membuktikan, Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal atau membagi dua kekayaan itu, setengah untuk pejabat tersebut dan sisanya untuk negara.
Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik, bagi para pejabat yang terbukti melakukan tindak korupsi maka dikenakan hukuman Ta'zir, berupa Tasyhir atau pewartaan dulu dengan diarak keliling kota kalau sekarang ditayangkan di TV atau sosial media lainya juga penyitaan harta dan hukuman kurungan sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak dari korupsinya. Disini tampak jelas bahwa hanya Islam yang mampu memberi solusi dalam memberantas korupsi.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini