Ilusi Demokrasi sebagai Solusi Hakiki




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)



Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi mengungkapkan, bahwa demokrasi tengah mengalami tantangan. Bahkan, beberapa survei menunjukkan bahwa demokrasi mengalami kemunduran.

Hal ini diungkapkan Retno Marsudi dalam sambutan pembukaan Bali Democracy Forum (BDF) ke-15 di Bali, Kamis (8/12/2022).
Survei yang dikutip oleh Menlu dari International IDEA dan survei Freedom House.

"Dalam pembukaan tadi, saya juga menyampaikan bahwa demokrasi tengah menghadapi berbagai tantangan. Saya mengutip data-data yang tersedia, antara lain dari International IDEA yang melaporkan bahwa demokrasi mengalami kemunduran atau stagnan," kata Retno dalam konferensi pers secara daring usai pembukaan BDF, Kamis.

Retno Marsudi mengungkapkan, data dari Freedom House bahkan menyampaikan terjadi kemunduran demokrasi selama 16 tahun berturut-turut.
Sementara V-Dem Institute menyebut rata-rata kualitas demokrasi turun ke level 30 tahun yang lalu. Di Asia Pasifik sendiri, diperkirakan 54 persen penduduk hidup di bawah alam demokrasi.

Retno Marsudi mengatakan, Sekjen PBB Antonio Guterres juga menyampaikan hal serupa dalam BDF.
Menurut Antonio, demokrasi mengalami kemunduran dan seluruh negara perlu bertanggung jawab untuk memperjuangkannya.
"Stagnasi atau kemunduran ini juga terjadi di negara-negara demokrasi yang sudah mapan sekalipun," ujar Retno.
Terlepas dari semua tantangan yang ada, Retno Marsudi meyakini masih banyak pihak yang percaya bahwa demokrasi harus terus dikembangkan, termasuk di Indonesia.

Dalam kondisi demikian, anehnya masih ada yang percaya bahwa demokrasi menjadi solusi persoalan dunia, padahal berbagai prinsip demokrasi justru kontradiksi dan menunjukan kegagalan dalam mewujudkan kesejahteraan. Demokrasi masih diklaim mampu menyejahterakan seluruh rakyat, meski kenyataannya sistem ini terbukti hanya menyejahterakan sekelompok elit oligarki. Demokrasi diklaim adil mewakili aspirasi rakyat, padahal demokrasi hanya melahirkan pejabat dan parpol yang korup. lucunya, masih saja banyak rakyat yang tetap memilih wakil-wakil dan parpol-parpol itu.

Demokrasi terus diklaim sebagai jalan perubahan yang benar, padahal tidak pernah terbukti demokrasi menjadi jalan penerapan syariat Islam kaffah.
Sayangnya, masih ada sebagian kaum muslimin, yang begitu getol memperjuangkan demokrasi secara mati-matian, bahkan ada sebagian muslim yang meyakini bahwa demokrasi sejalan dengan ajaran Islam.

Seandainya saja kita mau jujur, demokrasi sejatinya tidak akan mampu memberikan solusi atas problematika manusia, karena sistem ini lahir dari sistem batil barnama sekulerisme. Sekulerisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Demokrasi memberi kewenangan manusia memiliki kedaulatan membuat hukum sendiri. Alhasil, hukum-hukum yang diproduksi akan senantiasa mengikuti kecenderungan yang sedang berkuasa.

Belum lagi demokrasi digunakan oleh penguasa untuk menutup celah penerapan syariat Islam. Maka tidak aneh, jika demokrasi memiliki makna standar ganda. Umat Islam yang sejalan dan mau menerima demokrasi, akan dicap sebagai Islam toleran dan moderat. Sementara umat Islam yang menolak demokrasi dan berpegang teguh pada syariat Islam serta menginginkan syariat itu diterapkan dalam kehidupan, kerap dicap sebagai ekstrimis, radikal, teroris, dan sebutan jahat lainnya.

Di sisi lain, asas demokrasi bertolak belakang dengan akidah Islam. Karenanya, tidak layak kaum muslim terus-menerus percaya bahwa demokrasi merupakan jalan perubahan dan perjuangan. Apalagi mempercayai narasi sistem ini harus diperjuangkan karena mengalami kemunduran. Kaum muslimin memiliki sistem politik warisan Rasulullah, yang dalam istilah fikih disebut sistem Khilafah.

Rasulullah Saw Bersabda :
"Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan mentaati pemimpin,, sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegan pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan," (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Adapun pada faktanya, Khulafaur Rasyidin dan Khalifah setelahnya tidak menerapkan sistem apapun kecuali sistem Islam, yakni Khilafah.
Sistem ini berdiri di atas empat pilar sebagaimana dikatakan oleh mujtahid besar Syekh Taqiyudin an Nabhani dalam kitabnya Muqaddimah ad-Dustur pasal 22 : 1. Kedaulatan milik syariah, bukan milik rakyat. Konsekuensinya adalah hukum Allah saja yang akan diterapkan. Sebagaimana kaidah fikih :"dimana ada syariat di situ pasti ada maslahat,"

2. Kekuasaan berada di tangan rakyat. Pengangkatan seorang kepala negara atau Khalifah, tidak sah kecuali melalui bai'at dari umat, mayoritas umat atau yang mewakili kehendak umat yaitu ahlul halli wal aqdi. Khalifah diamanahi rakyat untuk menerapkan syariat Islam.

3. Mengangkat seorang Khalifah fardu atas seluruh kaum muslim. Kaum muslim wajib mengangkat satu orang Khalifah, dan ke-4. Hanya Khalifah yang berhak mengadopsi hukum syariah dan menetapkan konstitusi. Khalifah mempunyai hak khusus melegislasi hukum syara menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat.

Selama 1300 tahun lamanya, tidak pernah kaum muslimin menerapkan sistem politik selain sistem Khilafah. Oleh karena itu, sudah semestinya arah perjuangan kaum muslimin adalah kembali kepada syariat Islam, bukan ke arah yang lain. Tentunya dengan dakwah yang mengikuti metode Rasulullah bersama kelompok Islam ideologis. Insya Allah, kembalinya sistem Islam yaitu Khilafah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak perlu lagi untuk diragukan.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak