HAM Dielukan, Tak Lebih Legitimati Kemaksiatan



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Hari HAM Sedunia diperingati setiap tahun di seluruh dunia pada 10 Desember. Hari ini dipilih karena bertepatan dengan diadopsinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 silam. Dengan demikian, sejarah Hari HAM Sedunia 10 Desember 2021 tak lepas dari ditetapkannya UDHR. UDHR menjadi pernyataan global pertama terkait hak asasi manusia. UDHR juga menjadi salah satu pencapaian besar PBB.
Mengutip laman Amnesty, UDHR mencakup beberapa hal seperti hak-hak politik, sipil, ekonomi, sosial, dan budaya. Deklarasi menguraikan 30 hak dan kebebasan yang menjadi milik setiap manusia. Deklarasi tersebut menjadi kekuatan untuk menegakkan konsep HAM di dunia. Hak-hak yang dimasukkan di dalamnya terus menjadi dasar hukum hak asasi manusia di dunia.

Pemajuan Hak Asasi Manusia untuk Setiap Orang (Advancing Human Right for Everyone)” menjadi tema yang diangkat Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia RI untuk peringatan Hari HAM Sedunia ke-74 yang jatuh pada 10 Desember 2022. Tema ini sejalan dengan tema yang ditetapkan PBB, yakni “Dignity, Freedom, and Justice for All” yang artinya “Martabat, Kebebasan, dan Keadilan untuk Semua”.

Penetapan tema ini tentu bukan tanpa alasan. PBB menilai beberapa tahun terakhir ini, martabat dan persamaan hak telah tergerus oleh berbagai tantangan, mulai dari pandemi, konflik, perubahan iklim, dan sebagainya. Oleh karena itu, PBB juga menetapkan peringatan Hari HAM tahun ini menjadi penanda awal proyek kampanye masif untuk menyebarkan pemahaman dan pengetahuan terkait HAM yang akan berlangsung hingga hari peringatan Hari HAM pada 2023 mendatang.

Ironisnya, peringatan Hari HAM nyaris selalu dilakukan di tengah deretan panjang kasus-kasus pelanggaran HAM. Salah satu yang paling mencolok adalah problem kesejahteraan dan keadilan yang belum dinikmati oleh mayoritas rakyat Indonesia tersebab berbagai kebijakan penguasa. Padahal, mendapatkan kesejahteraan dan keadilan merupakan bagian dari hak mendasar kemanusiaan yang wajib dirasakan semua orang.

Inilah yang mendorong berbagai elemen buruh dan mahasiswa memperingati Hari HAM tahun ini dengan turun ke jalan di Jakarta. Mereka menuntut agar penguasa mengusut tuntas kasus-kasus lama pelanggaran HAM, seperti kasus Munir, kasus Kanjuruhan, dan sejenisnya. Mereka pun menyatakan penolakan terhadap keberadaan UU atau kebijakan yang dipandang melanggar HAM, seperti UU KUHP yang baru disahkan, UU Cipta Kerja, kebijakan soal upah murah, dan outsourcing yang disebut sebagai modern slavery. Juga menuntut reformasi agraria dan kedaulatan pangan yang dikaitkan dengan kesejahteraan.

Sebagai sebuah terminologi, HAM memang sering dianggap sebagai produk pemikiran yang tinggi dan agung. Di dalamnya konon terkandung nilai penghargaan atas hak-hak dasar kemanusiaan yang dibawa sejak lahir sehingga seseorang tidak boleh dibedakan atas dasar seks, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan, kelahiran, dan sebagainya. Dengan kata lain, semua hak-hak ini harus dijunjung tinggi oleh semua orang.

Namun pada praktiknya, ide HAM ini seringkali menjadi alat negara-negara adidaya untuk melakukan berbagai kezaliman. Mereka menekan negara-negara lain yang dipandang lebih lemah dengan menggunakan isu-isu HAM. Mereka ikat negara-negara tersebut dengan proyek-proyek yang mengatasnamakan penegakan HAM, dan dengan menggunakan alat politik yang mereka buat, yakni lembaga-lembaga internasional. Padahal, targetnya agar negara tersebut tunduk atas apa yang dimau si kampiun HAM.

Salah satu bukti simpulan di atas adalah narasi “kesetaraan dan kebebasan untuk semua” yang berulang diambil sebagai tema Hari HAM beberapa tahun terakhir ini. Tema ini sesungguhnya menyiratkan gagasan untuk menguatkan posisi kelompok menyimpang yang sering disebut rentan dan marjinal untuk menikmati kualitas tertinggi hak asasi manusia.
Salah satunya terkonfirmasi dari propaganda WHO yang pada peringatan Hari HAM tahun ini mengangkat narasi “L687Q, #EndViolence, Everyone has The Right to Live Free from violence and discrimination“. Jelas sudah, bahwa ide HAM digiring sebagai alat legitimasi kemaksiatan dan alat mengubah mindset umat atas perilaku maksiat.

Masalahnya, bukan kebetulan jika narasi pembelaan terhadap kelompok ini sedang santer juga di negeri-negeri muslim, tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, baru saja UU KUHP disahkan. UU ini mengundang polemik karena selain proses pengesahannya yang simsalabim, juga karena ditengarai melegitimasi perzinahan dan penyimpangan seksual semacam L687Q. Ditambah dengan adanya pergerakan berbagai komunitas dan masifnya propaganda media yang mendukung dan memberi panggung para pelaku dan praktek maksiat ini dengan dalih penghormatan terhadap hak asasi manusia. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak