Hakordia, Hanya Sebatas Seremoni Belaka




Oleh : Gita Annisa, SE
(Menulis Asyik Cilacap)


Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. 
ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi. 

"Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu, 11 Desember 2022.

Jika kita telaah lebih dalam, Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia makin terasa sekedar seremoni tanpa makna. Pasalnya tiga hari sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghelat peringatan ini, DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menjadi UU. Salah satu pasal yang diatur dalam beleid yang akan menggantikan kitab produk kolonial itu menjadi 'kado manis' bagi para koruptor. 

Misalnya pada Pasal 603, bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, ataupun korporasi hingga merugikan negara atau perekonomian negara, diganjar penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun atau penjara seumur hidup.
Padahal, di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pelaku kejahatan yang sama dihukum minimal 4 tahun penjara.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pengesahan KUHP merupakan salah satu bentuk konsolidasi politik yang anti-pemberantasan korupsi yang kian kentara.
“Hampir seluruh aspek antikorupsi berhasil diruntuhkan melalui proses-proses politik, khususnya jalur legislasi,” kata Kurnia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (8/12/2022).

Dewasa ini, korupsi tidak lagi menjadi kejahatan serius, apalagi kepercayaan publik makin lemah terhadap KPK yang merupakan lembaga khusus untuk meberantas korupsi.
Bisa dilihat dalam UU KPK No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 19/2019), sudah menuai kontroversi sejak awal pembahasannya. Revisi tersebut bukan saja merusak independensi KPK, karena menempatkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, tetapi juga merusak mekanisme internal penindakan korupsi di KPK.

Pada sisi penindakan, wajah buruk UU No 19/2019 mulai terlihat saat KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU 2017-2022. Perkara yang juga melibatkan buronan KPK, politikus PDIP Harun Masiku, telah menunjukkan betapa rumitnya proses perizinan untuk melakukan penggeledahan. Alhasil, hingga saat ini, KPK tak kunjung melakukan penggeledahan di Kantor PDIP dan gagal menangkap kembali Harun Masiku.
(ICW, 30 Desember 2020).

Inilah fakta buruk keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem kapitalisme demokrasi. Penguasa senantiasa memihak pihak-pihak pemilik kepentingan demi mempertahankan jabatan dan kekuasaan. Alhasil, kesejahteraan rakyat hanya sebagai jargon dan pemanis pada setiap mendekati pemilu. Dan lagi, selalu saja rakyat akan menjadi korban atas produk-produk hukum yang di-sah-kan.

Sungguh berbeda dengan sistem Islam yang menutup semua celah tindak korupsi, mengantisipasi peluang korupsi dan memberikan sanksi yang membuat jera.
Islam tidak sekadar mengatur ibadah ritual, tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan. 

Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela.
Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Hal ini untuk menekan tindakan korupsi, suap, dan lainnya. 

Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara. Pemerintahan Islam juga akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan.
Di sisi lain, sanksi yang tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Sebagai contoh, Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Selain itu, masyarakat juga dapat berperan menghilangkan tindak korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.

Demikianlah Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat gamblang mengenai pemberantasan korupsi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Karena itu perubahan menuju ke arah Islam dan solusi Islam dalam memberantas korupsi harusnya dilaksanakan. Upaya inilah yang membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem  Islam yang menerapkan syariah kaffah dalam kehidupan.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak