Oleh: Muflih Khofifah
Catatan daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi Antirasuah bertambah dengan adanya Abdul Latif Amin Imron dan lima pejabat lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Pasalnya Kelima pejabat tersebut memberikan kepada Latif demi membayar komitmen fee setelah mendapatkan kursi jabatan yang diinginkan. KPK menduga total komitmen fee yang dipatok Latif dari Rp50 juta samalai Rp150 juta. Tidak hanya bermain dengan isu mutasi dan rotasi jabatan, Latif juga mematok fee 10% dari setiap anggaran proyek. (09/12/2022) tirto.id
Dengan adanya kasus korupsi yang masih hangat ini, pada waktu yang berdekatan dengan Peringatan Hakordia (Hari Antikorupsi Sedunia). Terkesan Hakordia hanya angin berlalu dan terasa sekedar seremoni tanpa makna.
Korupsi memang bukan hal yang baru. Bahkan di negeri kita bak jamur di musim hujan, korupsi tumbuh subur di kalangan politisi.Justru sangat aneh jika politisi tidak korupsi.
Pasalnya negeri yang bersistem Demokrasi tentu tidak bisa lepas dari konsep politik balas budi. Dimana dalam sistem Demokrasi, sebelum menjabat setiap politisi perlu donor dana untuk meyakinkan masyarakat akan kemampuan dia sebagai pemimpin. Dari mana dana tersebut? Dari pihak pemodal alias konglomerasi. Apakah mereka memberikan dana secara cuma-cuma? Tentu saja tidak, karena tidak ada makan siang gratis dalam sistem ini.
Oleh karena itu politisi harus balik modal ketika menjabat, mengembalikan dana dari pemilik modal dan untuk mengamankan kekayaan paska purna tugas sebagai nafkah keluarganya. Sehingga demi mendapatkan itu semua, maka jalan alternatifnya yaitu korupsi. Dari sini hilanglah kemurnian mereka sebagai wakil rakyat yang mengurusi urusan masyarakat. Beralih menjadi pencari kesempatan untuk kemanfaatan dan kekayaan pribadi.
Ditambah dengan adanya pengesahan RKUHP yang mengurangi hukuman bagi koruptor yang termuat dalam pasal 603, bahwa koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun yang sebelumnya empat tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu, denda paling sedikit Rp10 juta, yang dulunya Rp200 juta dan paling banyak Rp 2 miliar.
Bunyi pasal tersebut yakni:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.”
Apakah dengan ini bisa memberikan efek jera pada para koruptor? Tentu saja tidak. Justru dengan RKUHP, para koruptor seperti mendapatkan tameng untuk melancarkan korupsi mereka. Hukuman tersebut tidak sebanding dengan apa kerugian negara dan masyarakat karena ulah mereka si koruptor. Dan kesannya korupsi tidak lagi menjadi kejahatan yang serius.
Diperparah lagi dengan lemahnya kepercayaan publik terhadap KPK sebagai lembaga khusus memberantas korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dilakukan Litbang Kompas pada 19—21 Juli lalu terhadap 502 responden, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah ini berada di posisi terendah dalam lima tahun terakhir, yakni pada angka 57%. Padahal, pada Januari 2022 ada di angka 76,9%. Citra KPK cenderung menurun terutama setelah revisi Undang-Undang KPK, yang berakibat pada menurunnya kadar independensi dan integritas KPK. KPK dinilai makin minim dalam menangani kasus strategis. (09/12/2022) nasional.kompas.com
Inilah gambaran gelapnya keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem demokrasi. Berbeda dengan sistem islam yang mampu mengantisipasi serta menutup celah peluang terjadinya korupsi.
Inilah langkah Islam dalam memberantas korupsi dan mencegahnya.
1) Ideologi Islam.
Islam tidak sekadar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara (khalifah) diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.
Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Ini untuk menekan korupsi, suap, dan lainnya. Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara.
Selain itu, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat.
Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan (https://www.muslimahnews.com/2019/05/25/metode-distribusi-harta-dalam-islam/).
2) Takwa dan zuhud.
Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela.
Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (QS al-Fajr [89]: 14; QS al-Hadid [57]: 4).
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qana’ah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridha Allah dan pahala menjadi standarnya.
Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk ‘izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
3) Politik ri’ayah.
Politik ri’ayah bertujuan untuk mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa. Bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus. Karena itu untuk menjamin loyalitas dan totalitas dalam mengurusi umat, pemerintahan Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier.
Di dalam pemerintahan Islam biaya hidup juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh Pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Adapun kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah.
Perekonomian dalam pemerintahan Islam akan digerakkan dengan berbasiskan sektor riiil yang akan memberikan lapangan kerja yang luas bagi rakyat (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam). Sistem moneter yang diterapkan berbasis emas yang terbukti anti inflasi. Karena itu harga-harga stabil dan rakyat tetap bisa menjangkau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam Daulah Khilafah).
Calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahannya itu syar’i atau tidak. Jika terbukti korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya akan diproses hukum.
4) Sanksi tegas dan efek jera.
Sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Wallahu'alam Bishowab
Tags
Opini