Oleh: Yaurinda
Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) selalu diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Desember. Meski diperingati tiap tahun, korupsi tidak pernah hilang dari Indonesia. Hakordia 2022 mengangkat jargon 'Indonesia Pulih Bersatu Memberantas Korupsi.' Ini menjadi PR besar bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, kepercayaan publik terhadap institusi ini sangat menurun.
Menurut hasil survey pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 19-21 Juli lalu terhadap 502 responden, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah (KPK) berada di posisi 57 persen,paling rendah dalam lima tahun terakhir.
Ada beberapa catatan. Pertama, KPK dinilai telah kehilangan independensinya. Kedua, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang merupakan revisi kedua atas UU 30/2002, justru semakin mengerdilkan wewenang KPK. Ketiga, banyak pelanggaran yang dilakukan insan KPK termasuk para pimpinannya sehingga tidak ada teladan integritas (Kompas.com, 09/12/2022).
Harusnya hakordia menjadi sarana evaluasi dan kontemplasi dalam perjalanan dan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Juga sebagai sarana refleksi dan komitmen rancangan program penting pemberantasan korupsi. Bukan hanya kegiatan ceremonial belaka dengan biaya yang tentu tidak sedikit. Untuk membangun kepercayaan publik terhadap KPK meningkat bukan malah turun setiap tahunnya.
Dalam soalan hukum mungkin juga harus dibenahi. Seperti kasus rakyat kecil yang mencuri ayam atau makanan untuk bertahan hidup, mendapatkan sanksi berat. Sementara, pejabat yang mencuri uang negara, justru mendapatkan keringanan hingga perlakuan tak sebanding dengan rakyat. Hukum yang selalu tumpul keatas tajam kebawah, lantas dimanakah keadilan yang diwujudkan.
Ini adalah buah dari sistem sekuler yang diterapkan. Dimana sistem ini tidak berpijak pada halal atau haram, begitu mudah menoleransi sebuah kejahatan. Hampir di semua lini terjadi korupsi, mulai level desa hingga pejabat tinggi. Tidak ada lembaga negara yang absen dari kasus korupsi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pemberantasan korupsi hanyalah harapan kosong di dalam sistem politik sekuler demokrasi yang sangat rentan untuk korupsi.
Hal ini akan menjadi berbeda dalam sistem Islam. Berdasarkan syariat Islam, korupsi adalah haram. Tak peduli pejabat atau rakyat sanksi tegas tanpa pandang bulu. Korupsi dengan nominal berapapun akan mendapatkan sanksi yang tegas berdasarkan syariat. Pemberantasan korupsi dalam sistem Islam di antaranya dilakukan melalui beberapa upaya.
Pertama: Penanaman iman dan takwa, karena ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi.
Kedua: sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup.
Ketiga: ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul serta penerapan pembuktian terbalik. keempat:sanksi hukum yang tegas sehingga koruptor jera dan mencegah orang untuk korupsi.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud)
Korupsi terkategori ghulul, baik berupa mengambil harta yang bukan haknya dari uang negara, risywah (suap menyuap), hadiah untuk pejabat dan keluarganya (gratifikasi), dan lain-lain. Semua itu haram.
Tindakan korupsi masuk dalam kategori takzir, yaitu sanksi yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarat di dalamnya. Kadar sanksi takzir berada di tangan Khalifah, tetapi boleh diserahkan kepada ijtihad qadi. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan ke publik/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya.
Islam telah membuktikan jika pemberantasan korupsi bukan hanya peringatan belaka namun akan terwujud dalam kehidupan bernegara. Tentu jika suatu negara mau menerapkan sistem Islam secara sempurna dalam semua lini kehidupan dan meninggalkan sistem sekuler. Menjadikan kehidupan masyarakat, individu dan negara senantiasa berdasar syariat.