Oleh Dewi Putri, S.Pd.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang berlangsung di Bali pada 15-16 November 2022 berhasil mengesahkan pernyataan para pemimpin atau Leaders’ Declaration.
Beberapa kepala negara G20 menyepakati antara lain perlunya menegakkan hukum internasional dan sistem multilateral, menangani krisis ekonomi termasuk melalui kerja sama kebijakan makro internasional, mengupayakan ketahanan pangan dan energi, serta mengadopsi teknologi digital untuk mendorong inovasi.
Selain itu, para pemimpin G20 juga menyerukan komitmen bersama untuk mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), mengatasi perubahan iklim, dan memperkuat sektor kesehatan. (antaranews.com)
Namun ada kekhawatiran yang muncul dari puncak acara KTT G20 ini yakni bagaimana jika komunike dari para kepala negara tidak tercapai. Sebagaimana yang dipahami bahwa komunike menjadi suara bersama anggota G20 yang berisikan komitmen dan kesepakatan kepada publik berisi isu-isu dunia saat ini yang kerap menjadi perhatian bersama dan menjadi hasil konsesus anggota G20 atas hal ini.
Perlu dipahami bahwa persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerawanan atau konflik sosial dan masih banyak lainya. Keberadaan Indonesia sebagai presiden G20 nyaris seperti EO yang melayani kepentingan Negara besar. Pasalnya negeri ini mengklaim mendapatkan keuntungan ekonomi dari KTT G20 tahun ini.
Namun apakah benar keuntungan dirasakan oleh masyakarat secara luas dan bukan hanya sesaat saja?
Faktanya Indonesia hanya pasar bagi Negara maju sebagaimana diketahui bahwa dalam kapialisme dunia ini terbagi menjadi negara produsen dan konsumen.
Negara produsen adalah tempat asal pemilik korporasi global yang bebas mengatur produksi di seluruh dunia sesuai dengan kepentingan ekonominya, mengacu pada negara-negara yang bergabung dalam G20. Maka negara produsen tentulah negara adidaya dunia, Amerika Serikat beserta negara maju lainnya, seperti Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Inggris, Australia, Uni Eropa, Cina dan sebagainya. Sedangkan di pihak lain terdapat negara yang positif posisinya sebagai negara konsumen seperti Indonesia, Argentina, Meksiko, Arab Saudi dan lainnya.
Negara produsen membutuhkan pasar potensial bagi hasil produk barang dan jasa mereka. Karena itu mereka mengumpulkan negara-negara konsumen bersama kelompok negara produsen untuk memastikan agar proses produksi dan jual beli berjalan secara konsisten bahkan meningkat pesat. Bila kita melihat latar belakang forum ini maka tujuan penjajahan yang melekat erat ideologi kapitalisme.
Negeri ini memiliki kekayaan SDA yang luar biasa dan sangat menguntungkan produsen untuk kebutuhan bahan baku dan pasokan energinya. Indonesia memiliki tempat untuk proses produksi yang jelas menjadi pertimbangan efisiensi para kapitalis mengingat posisi Indonesia menjadi sasaran dan tujuan hegemoni negara produsen dalam G20. Segenap potensi Indonesia hanya menjadi bajakan negara-negara maju demi mempertahankan manfaat politik dan ekonomi yang selama ini mereka nikmatin. Wajar saja banyak Negara yang tertarik membangun kerja sama dengan Indonesia.
Oleh karena itu semua mekanisme yang mengikat forum ekonomi nasional baik G20 atau yang lainnya hanyalah merupakan proyek penjajahan ekonomi forum G20 mengacu pada sistem ekonomi kapitalisme yang justru terbukti memporakporandakan ekonomi dunia, dan memperluas penjajahan di negeri-negeri islam.
Sistem ini hanya menghasilkan krisis yang terus menerus berulang secara siklik dan periodik.
Karena itu semua kaum Muslimin harus menyadari pentingnya kemandirian politik sehingga mampu menentukan sikap dan masa depanya sendiri tanpa harus ada dalam setiran kapitalisme global.
Hanya arah pandang terhadap politik Islam di bawah ideologi Islam. Yang dapat menjadi metode kebangkitan kaum Muslim saat ini. Inilah satu-satunya manivestasi yang layak menuju kepemimpinan dunia yang hakiki system' ekonomi Islam berbasis pada sistem keuangan nonriba.
Apabila riba hilang dalam perekonomian dunia akan menjadi seperti peradaban Islam dalam khilafah islamiyah yang pertama, yakni berhasil mewujudkan sistem ekonomi dan melejitkan prodaktivitas.
Kebijakan sistem fisikal khilafah dalam bentuk pemberlakuan system baitul maal terbukti melejitkan sistem penerimaan negara dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan tanpa harus mengenakan pajak kepada rakyatnya. Begitu juga sistem moneter di dalam Islam yakni, emas dan perak telah berhasil mewujudkan stabilitas sistem moneter dunia.
Sistem ekonomi Islam akan menciptakan kesejahteraan merata pada seluruh rakyat. Hubungan dagang dengan luar negeri terkontrol dalam mekanisme yang menjamin kemandirian dan keamanan negara. Bila kemudian begitu solusinya, Indonesia dan negeri kaum Muslim lainnya akan terbebas dari penjajahan negara produsen. Tak ada lagi forum internasional yang harus diikuti demi kepentingan negara besar.
Wallahu a'lam bishawwab