Oleh : Sendy Novita, S.Pd ( praktisi pendidikan)
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia buka suara soal rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan lahan di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) sampai dengan 180 tahun ke investor (Jakarta, CNN Indonesia) . disampaikan hal itu adalah strategi pemanis agar investor mau masuk ke IKN. Karenanya, insentif tersebut hanya berlaku khusus bagi investor yang akan masuk ke proyek di IKN Nusantara.
Menurutnya, insentif seperti itu sudah banyak dilakukan oleh negara lain untuk menarik investor masuk ke negaranya. Jadi sah-sah saja Indonesia juga berencana untuk melakukan itu. Ia mengklaim beberapa investor sudah menyatakan komitmen masuk ke IKN adalah dari Uni Emirat Arab, China, Korea Selatan, hingga negara Eropa.
Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait mengenai rencana tersebut. Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah berencana untuk merevisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN). Alasanya karena banyak investor yang ingin isi aturan mengenai hak pengelolaan lahan diubah.
Hingga dicontohkan bahwa Singapura juga menerapkan kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) sampai dengan 100 tahun lebih. Tak memungkiri bahwa untuk menarik investor di wilayah baru memang harus dilakukan marketing yang menarik dan berbeda.
Secara tidak langsung Insentif Hak lahan yang lama menunjukkan betapa tak mampunya negara untuk membiayai proyeknya. Juga menunjukkan ambisiusnya atas proyek IKN. Padahal proyek ini bukanlah proyek yang mendesak apalagi di tengah rakyat yang sedang dilanda kesulitan hidup.
Tentu saja kita tak habis pikir dengan pernyataan pemerintah yang tetap melanjutkan proyek jumbo ibu kota baru meski di masa sulit setelah pandemi. Proyek yang akan menggelontorkan dana lebih dari Rp500 triliun ini bukan tidak mungkin sudah menjadi kontroversi. Sejumlah pengamat menilai alasan pindah ibu kota yang terkesan dipaksakan.
Corak pemerintah yang tidak bisa lepas dari intervensi asing ini akan selalu disetir oleh para kapital. Megaproyek yang pendanaannya didominasi oleh Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) tentu merupakan ancaman serius. Kerja sama dengan swasta bisa mengancam kedaulatan negara. Tentunya bantuan tersebut tidak terlepas dari jkepentingan masing-masing pihak.
Hal ini terjadi karena lemahnya sistem perekonomian sebuah negara. Penerimaan kas negara yang hanya mengandalkan pungutan pajak tentu sulit untuk membangun infrastruktur. Celakanya, anggaran belanja negara yang minim ini justru semakin diperparah oleh beban utang luar negeri. Mirisnya, kok malah ngotot pindah ibu kota?
Infrastruktur dalam Islam
Infrastruktur dalam sebuah negara adalah organ vital yang menjadi perhatian dan wajib disediakan oleh negara. Pembangunan infrastruktur haruslah berdasarkan skala prioritas dan kondisi keuangan.
Dalam Islam, infrastruktur merupakan hak warga negara yang wajib disediakan. Selain itu, institusi negara merupakan satu-satunya sistem pemerintahan yang bertanggung jawab untuk mengurus seluruh urusan rakyat, sebagaimana yang diperintahkan dalam nash syariah. Nabi bersabda, “Imam [kepala negara] laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya).” (HR.Bukhari dan Muslim)
Sejalan dengan itu, sistem Islam mempunyai seperangkat aturan sempurna yang dibuat langsung oleh Allah Ta’ala, sehingga manusia tinggal menjalankan tanpa harus merumuskan dan membuat hukum..
Membangun infrastruktur tentu memerlukan anggaran yang besar, namun hal ini tidak menjadi kendala karena keuangan negara ditopang oleh banyak sumber pemasukan. Setidaknya ada tiga sumber pendapatan utama negara, di antaranya dari kepemilikan negara, kepemilikan umum dan zakat. Dari kepemilikan umum meliputi semua sumber daya alam, baik di daratan, lautan, dan kekayaan alam bawah tanah saja sudah lebih dari cukup untuk membiayai infrastruktur.
Selain itu, negara akan membangun infrastruktur berdasarkan skala prioritas. Infrastruktur kesehatan dan pendidikan, jalan raya, dan semua infrastruktur yang menunjang aktivitas ekonomi rakyat menjadi prioritas utama. Sedangkan fasilitas umum yang bersifat tidak mendesak akan dibangun ketika semua fasilitas utama sudah dibangun dan keuangan negara dalam keadaan aman.
Beberapa bukti sejarah Islam yang begitu konsen terhadap infrastruktur yaitu pada masa Khilafah Umayyah, yakni khalifah Walid bin Abdul Malik yang pertama yang mendirikan rumah sakit di Kota Damaskus, Suriah pada tahun 707 M (88 H). Istimewanya rumah sakit ini didirikan oleh Walid bin Abdul Malik dengan kas negara dan memberikan pengobatan gratis bagi rakyatnya.
Pada infrastruktur pendidikan, pada masa Dinasti Abbasiyah, pada masa Khalifah Al-Muntansir Billah (1226 M – 1242 M) telah dibangun Universitas Al-Mustansiriyah di Baghdad. Perguruan tinggi ini tidak hanya fokus pada satu studi saja tetapi memiliki sekaligus empat bidang studi, antara lain ilmu Al-Qur’an, biografi Nabi Muhammad, ilmu kedokteran, serta matematika. Universitas ini juga dilengkapi oleh perpustakaan yang mendapat sumbangan buku sebanyak 80 ribu eksemplar yang diangkut oleh 150 unta.
Pada infrastruktur lainnya, sejarah juga mencatat pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, yakni pada masa Khalifah Abdul Hamid II. Khalifah membangun proyek Hejaz Railway atau jalur kereta api Hijaz sepanjang 1464 km sebagai infrastruktur penunjang transportasi haji. Jalur kereta ini menghubungkan antara kota Damaskus Suriah dan Madinah yang mampu memperpendek perjalanan dari 40 hari menjadi lima hari saja. Tidak hanya menyingkat perjalanan, kapasitas penumpang juga sangat besar untuk ukuran masa itu, yaitu mampu membawa 300 ribu jamaah dalam satu pemberangkatan.
Begitulah Islam yang membangun infrastruktur berdasarkan kepentingan rakyat, menggunakan kas negara, serta tanpa menyerahkan proyek tersebut pada swasta. Keberhasilan Islam membangun infrastruktur ini masih bisa kita saksikan hingga saat ini sebagai bukti kegemilangan peradaban Islam. Keberhasilan umat Islam membangun peradaban yang mengungguli peradaban Barat tentu saja karena Islam sebagai agama diterapkan secara sempurna.
“Begitulah Islam yang membangun infrastruktur berdasarkan kepentingan rakyat, menggunakan kas negara, serta tanpa menyerahkan proyek tersebut pada swasta. Keberhasilan khilafah membangun infrastruktur ini masih bisa kita saksikan saat ini sebagai bukti kegemilangan peradaban Islam. Keberhasilan umat Islam membangun peradaban yang mengungguli peradaban Barat tentu saja karena ideologi Islam diterapkan sebagai sistem bernegara. Khilafah membangun sistem perekonomian Islam yang mampu menopang aktivitas ekonomi umat”.
“Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”(TQS. al-Munaafiquun : 8)
Wallahu a’lam bishawab
Tags
Opini