Oleh : Anis, Ibu Rumah Tangga, Pacet - Kab. Bandung.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Suharini Eliawati mengatakan, jelang hari besar keagamaan dan nasional (HBKN) Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2022, ada kenaikan harga pangan. Dia menyebut, ada lima harga pangan seperti, telur, minyak goreng, daging, cabai, dan gula di DKI yang mengalami kenaikan karena naiknya permintaan. "Beberapa pangan strategis terpantau mengalami kenaikan harga disebabkan naiknya permintaan sebesar 0.76 persen sampai 12.72 persen dibanding bulan sebelumnya,” kata Suharini melalui keterangan tertulis, Kamis, 8 Desember 2022.
Menjadi kebiasaan negeri ini atas naiknya harga kebutuhan pokok menjelang natal dan tahun baru (Nataru). Seperti halnya harga telur hingga disusul dengan kebutuhan lainnya makin naik hingga saat ini. Naiknya kebutuhan pokok menjadikan bencana bagi rakyat kecil. Karena gejolak harga kebutuhan pokok di pasar dipengaruhi tiga faktor, yaitu tingkat permintaan ketersediaan stok, baik dari produksi domestik maupun impor dan kelancaran distribusi hingga ke retail. Selain faktor permintaan, aspek produksi dan kelancaran distribusi tidak lepas dari konsep tata kelola oleh negara.
Kartel adalah sebab utama naiknya harga kebutuhan pokok lokal. Yakni memonopoli harga oleh para pengepul besar hingga bebas menjual harga atas keuntungan sendiri. Minimnya pengawasan yang hingga aturan yang kurang tegas dari pemerintah pada pengepul barang menjadikan Di sisi lain aspek distribusi yang juga lemah menyebabkan pedagang besar yang jelas punya modal lebih dengan leluasa menentukan harga komoditas pasar. Kondisi ini sekaligus menggambarkan betapa rusaknya tata kelola pangan pemerintah demokrasi liberal kapitalistik, di mana pemerintah justru tunduk pada para pemodal dan pelaku usaha besar yang mampu menguasai komoditas. Sehingga pemerintah tak berdaya mengendalikan pasokan, hingga kurangnya pasokan dalam negeri mengakibatkan impor barang sebagai solusi atas pemenuhan kebutuhan pokok di masyarakat.
Pemerintahpun seolah-olah membiarkan monopoli harga oleh para pengepul besar. Tak mau ikut campur atas pengelolaan pasar hingga takut memberikan sanksi tegas pada pelaku monopoli. Ditambah lagi aturan baru atas pajak yang dibebani pada kebutuhan pokok menjadi faktor atas ketidakstabilan harga kebutuhan pokok menjadi masalah tak pernah selesai.
Tradisi tahunan kenaikan harga pangan secara berulang membuktikan bahwa sistem yang diterapkan salah. Sehingga wajib diubah mengganti lebih baik yakni Islam. Islam telah memerinci peran negara dalam menjaga terwujudnya perdagangan yang sehat. Pertama, larangan ta’sir (taksir). Ini adalah larangan bagi pemerintah untuk mematok harga, baik harga batas atas maupun harga batas bawah Alasannya, karena akan menyebabkan kezaliman pada penjual atau pembeli. Sementara, Islam melindungi kedua belah pihak, yaitu pembeli dan penjual dengan bersamaan.
Jika kenaikan barang tersebut terjadi karena adanya aksi penimbunan (ihtikar) barang oleh para pedagang, maka negara akan menjatuhkan sanksi kepada pelaku penimbunan barang. Sanksi dalam bentuk ta’zir, sekaligus kewajiban untuk menjual barang yang ditimbunnya ke pasar. Dengan begitu, supplay barang tersebut akan normal kembali. Islam memosisikan negara sebagai pengatur urusan umat, bukan sekadar regulator yang memfasilitasi korporasi berjual beli dengan rakyat. Pemerintah wajib menjamin seluruh kebutuhan umat dan melindunginya dari segala macam bahaya, termasuk distribusi pasar. Peran distribusi yang utama justru ada di tangan pemerintah. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam terkait produksi, distribusi, perdagangan, dan transaksi.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini