Oleh: Khasanah Isma, S. Pd.I
Liberalisasi besar-besaran begitu kentara sejak Undang -Undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) diresmikan pada 2020, pemerintah bak memberi karpet merah kepada oligharki untuk leluasa menciptakan peluang bisnis mulai dari kebutuhan yang bersifat primer, sekunder hingga tersier sasarannya, siapa lagi jika bukan rakyat.
Dibawah Kementerian Telekomunikasi dan informasi, Jhony G. Plate dan Kementerian Polhukam Mahfud, MD tertanggal 3 November
2022, pemerintah mulai resmi menghentikan siaran TV analog menuju digital atau ASO (Analog Switch Off), dengan mengatasnamakan amanah UU Ciptaker (Cipta Lapangan Kerja) pasal 60 A nomor 11 /tahun 2020.
Mahfud MD dengan yakinnya menyatakan bahwa migrasi analog ke digital dipastikan tidak akan menuai gejolak di masyarakat, bahkan menyatakan jika 98% masyarakat siap bermigrasi dari analog ke digital. " Adapun bagi masyarakat yang belum siap, Kementrian Komunikasi dan Informasi menyiapkan posko bantuan STB (Set Top Box) wilayah Jabodetabek sebanyak 209 kabupaten-kota", ujarnya saat di Hotel Borobudur Jakarta Pusat, Jumat,1/11/2022.
Dilansir dari Republika. co.id, terdapat 230 kabupaten dan kota yang sudah migrasi ke siaran digital, antara lain adalah Jabodetabek, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Meranti Bengkalis, Kabupaten Timor, Malaka, Belu, Kota Sorong, dan Kabupaten Sorong.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan atas migrasi analog ke TV digital?,
dan sejauh mana peran pemerintah terhadap rakyat dalam memfasilitasi peralihan tersebut?. Mengingat kondisi masyarakat saat ini tengah terpuruk sehingga tidak semua lapisan masyarakat mampu membeli STB (Set Top Box) sebagai alat penunjangnya,
sebab nyatanya tidak hanya STB yang dibutuhkan saat peralihan ini. Masih ada beberapa instrument lain yang harus dilengkapi para pemilik TV tabung agar bisa menikmati siaran TV tanpa kendala sinyal terputus, seperti harus adanya antena luar.
Seorang ibu didaerah Sawangan, Depok mengaku kecewa. Ia mau tidak mau harus merogoh kocek 400.000, untuk pembelian STB dan antena luar, sementara uang nya tidak mencukupi. "STB sudah kebeli, saya kira bisa nonton lagi secara normal, eh ternyata harus ada antena luar biar gak seret gambarnya dan dapat sinyal, sedangkan saya penghasilan hanya dari dagang, berarti saya harus ngumpulin duit lagi buat beli antena luarnya" , ujarnya.
Hal ini bertolak belakang dengan apa yg dikatakan Mahfud Md, bahwa masyarakat telah siap 98 ℅. Faktanya di lapangan bantuan STB sebagai penunjang TV digitalyang diberikan pemerintah belum sepenuhnya menyasar kepada masyarakat yang tidak mampu. Pada umumnya mereka mengeluarkan biaya mandiri, padahal harga dipasaran cukup tinggi, ~yakni~ di kisaran 250.000 hingga 550.0000
" Yah habis mau gimana lagi, kalo gak ada TV anak rewel mau nonton kartun gak bisa_", ujar seorang ibu di Tangerang yang mengaku berat dengan adanya migrasi TV ini.
Hingga hari ini kritik masih terus berjalan atas kebijakan yang tak berpihak pada rakyat,
namun pemerintah seolah menutup telinga, suara rakyat tak dianggap penghalang untuk tetap menjalankan kebijakan brutal.
Tanpa perlu berpikir panjang, pemerintah berulangkali memutuskan kebijakan yang sangat membebani rakyat pada waktu yang berdekatan. Ada saja cara mereka untuk menambah beban hidup dari mulai dinaikannya iuran BPJS, disusul naiknya harga BBM, yang menjadi pangkal naiknya seluruh harga kebutuhan bahan pokok, ditambah saat ini terkait pengadaan STB. Seolah mereka menutup mata pada kondisi rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, berbagai ide dilakukan untuk menjadikan rakyat sebagai ladang basah dalam meraup cuan.
Kalkulasinya, jika rumah tangga Indonesia sebanyak minimal 68,7 juta membeli STB ( Set Top Box) dengan harga rata-rata Rp. 200.000, maka potensi pendapatan vendor/swasta terhitung 68,7 juta x 200.000
=13.740 Trilyun.
Angka yang sangat fantastis yang diperoleh pengusaha dari hasil penjualan tersebut,
lalu apakah dengan program migrasi dan pengadaan STB ini akan diiringi dengan perbaikan kualitas pelayanan siaran TV kepada masyarakat, seperti adanya jaminan memberikan informasi yang terpercaya dan akurat? Atau memperbaiki kualitas media TV terkait substansi program penyiaran TV dan sebagainya?.
Nyatanya itu tidak diwacanakan di tengah-tengah publik, pemerintah hanya fokus pada migrasinya saja dan memberi peluang swasta untuk meraup keuntungan dari hasil dagang STB, bak sudah jatuh tertimpa tangga, sudahlah gelombang PHK semakin tak terkendali, angka pengangguran tinggi, daya beli masyarakat menurun, alih- alih bukan memberikan rakyat solusi, malah semakin mengeluarkan kebijakan yang menyayat hati, rakyat ibarat sapi perah yang dipaksa tunduk pada kebijakan pemerintah.
Selain itu, perubahan TV analog ke digital ini menunjukan betapa UU Ciptaker tidak berpihak kepada kepentingan rakyat,nyata sekali pemerintah malah menjembatani bisnisnya para pemilik modal, dengan meliberalkan kepemilikan seluruh aset-aset vital rakyat kepada swasta yang semestinya dikelola negara ,salah satunya adalah media telekomunikasi.
Padahal, media telekomunikasi punya peran yang besar dalam membangun sebuah negara jika dikelola sesuai dengan jalur yang benar,jika pemerintah beritikad baik mengarahkan rakyat kepada kemajuan teknologi digital, semestinya ada bantuan yang merata terhadap perangkatnya, disertai dengan sosalisasi yang tuntas, bukan malah memaksa rakyat untuk masuk ke ranah digital dalam situasi yang tak mampu secara finansial. Ibarat hanya bisa berjalan tapi dipaksa untuk berlari, sangat jelas kepada siapa pemerintah berpihak jika bukan kepada pengusaha oligharki?
Gurita oligharki yg mencengkeram para pejabat ini tentu ada alasannya, salah satunya adalah timbal balik. Mengambil istilah no free lunch (tak ada makan siang yang gratis) erat kaitannya bahwa tunduk dan siapnya pemerintah didikte, diatur oleh para konglomerat oligharki itu karena kebergantungannya terhadap uang sebagai modal pemilu kedepan, sehingga wajar jika dikatakan bahwa apapaun kebijakan yang lahir dari pemerintah sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat melainkan keberpihakan mereka kepada pemilik modal.
Inilah wajah kelam sistem Demokrasi kapitalis liberalis, dimana antara penguasa dan pengusaha setali tiga uang menjadikan aset-aset negara sebagai komoditi ekonomi untuk kepentingan mereka, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Ketika saat ini eksploitasi itu menyasar pada Media Siaran Komunikasi, sistem ini mengharuskan tiap orang mengeluarkan biaya untuk bisa menggunakan teknologi seperti mencari berita, menonton TV, dan lainnya.
Sangat berbeda dengan sistem islam yakni khilafah, umat tak perlu keluar uang demi menikmatinya, sebab negara melalui baitul mal akan membiayai kebutuhan ini,
karena teknologi telekomunikasi dalam pandangan islam adalah salah satu jenis infrastruktur yang memang disiapkan negara untuk hajat hidup rakyat. Seorang khalifah dalam sistem khilafah memandang bahwa teknologi adalah instrumen pendukung kehidupan umat Negara sebagai fasilitator menjadikan teknologi dan telekomunikasi sebagai sarana untuk mencerdaskan umat melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan sains, sarana syiar dakwah islam, maupun menyampaikan informasi kepada umat terkait situasi politik, pemerataan ekonomi dan bisnis, lapangan kerja secara global. Sehingga masyarakat dibuat melek informasi terkait wilayah mana saja yang membutuhkan tenaga SDM untuk mengelola SDA, wilayah mana saja yang belum tersentuh pemerataan ekonomi dan sebagainya.
Kondisi seperti inilah yang akan diwujudkan khilafah, dengan adanya teknologi dan komunikasi,rakyat tidak hanya dituntut untuk menguasai tehnologi tapi juga dituntun agar tidak gaptek (gagap teknologi) sehingga potensinya berkembang dan bisa diarahkan sebagai sumbangsih mereka untuk kemajuan khasanah peradaban islam.
Lebih detail Syekh Abdul Qodir Zallum dalam buku Sistem keuangan negara Khilafah menjelaskan: "Sarana pelayanan pos, surat menyurat, telepon, kiriman kilat dan lain lain merupakan salah satu dari jenis infrastruktur milik negara yang disebut dengan Marafiq".
Marafiq adalah bentuk jamak dari kata mirfaq, yaitu seluruh sarana yg dapat dimanfaatkan di pedesaan, propinsi maupun yang dibuat oleh negara, selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu.
Marafiq ammah adalah seluruh sarana umum yg disediakan negara agar dimanfaatkan seluruh lapisan masyarakat (sumber: MMC)
Maka , perkembangan TV analog ke digital dan efisiensi penggunaan frekuensinya semata mata akan dikembangkan guna memudahkan masyarakat mengakses informasi, dan khalifah lah yang membiayainya melalui pos Baitul mal, tanggung jawab penuh dari khilafah yakni dapat menyediakan layanan publik telekomunikasi sehingga kapan pun masyarakat akan selalu siap dengan transformasi teknologi agar efisien dan efektif yang disinyalir dapat mempercepat perkembangan internet untuk kebutuhan media.
Sebab urgensi media dalam khilafah adalah sarana strategis untuk menyempurnakan pelayanan publik melalui ideologi islam,
Oleh karenanya jika kita menginginkan seorang pemimpin negara yang pro kepada umat, maka jawabannya hanya ada pada sistem pemerintahan islam (Khilafah), sungguh islam dalam sistem khilafah telah mengatur begitu detil terkait mana yang merupakan hak umat yang tidak boleh tersentuh oleh kepemilikan pribadi atau kelompok,sementara sistem Demokrasi kapitalis liberalis hanya menjadikan seluruh aset umat sebagai komoditi ekonomi. Kebijakan yang dikeluarkan pemimpin Demokrasi pun dirancang semata mata pro kepada kaum pemodal, misal kepemilikan stasiun TV, dan sebagainya.
Hanya islamlah yg mampu meriayah/ mengelola ini dengan baik hingga bisa dinikmati umat secara keseluruhan tanpa harus mengeluarkan uang.
Mari kita terus mengkritisi kebijakan pemerintah terkait dengan Penyiaran, Media dan telekomunikasi dengan memaparkan solusi dari sudut pandang ideologi islam,
agar masyarakat paham bahwa islam pun ternyata memiliki tata kelola yang sangat baik terkait hal tersebut.
Islam dalam sistem Khilafah mempersilahkan setiap individu masyarakat untuk mendirikan Media telekomunikasi baik cetak, audio, visual, maupun digital , sementara Khilafah berperan sebagai penentu kebijakan dan quality controller terkait konten siaran media agar tidak keluar dari kacamata syarak dan ada unsur edukasi. Khilafah pun akan mencegah terjadinya bisnis media dan penyiaran karena ranah ini termasukkedalam ranah kebijakan publik.
Wallahua'lam bisshawwab
Tags
Opini