WACANA KEBERPIHAKAN ATAS NAMA AGAMA HANYA RETORIKA MAYA



 
Oleh : Ummu Aqeela
 
 
Forum Keagamaan G20 Religion of Twenty (R20) berkomitmen membawa misi agama menjadi solusi untuk perdamaian dan permasalahan dunia. Forum yang dihadiri tokoh agama dan sekte ini mengundang pembicara ddari dalam dan luar negeri ini digelar di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, 2-3 November 2022. Forum yang melibatkan lebih dari 100 tokoh agama dan sekte ini, telah dibuka Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Rabu, 2 November 2022.  
 
Forum Agama G20 atau Religius of Twenty (R20) menghasilkan komunike atau kesimpulan tujuh poin, yang garis besarnya memastikan agama berfungsi sebagai sumber solusi global. Di antara tujuh poin tersebut menyebutkan para pemimpin agama yang berasal dari negara anggota G20 dan negara lainnya di seluruh dunia, memiliki keprihatinan besar pada tantangan global, seperti degradasi lingkungan, bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, kemiskinan, pengangguran, pengungsi, ekstremisme, dan terorisme.
 
Para tokoh agama dan sekte yang hadir pada forum R20 juga berupaya mendorong saling pengertian, budaya damai, dan hidup berdampingan dengan harmonis di tengah keragaman masyarakat, agama, dan bangsa di dunia. Untuk mencapai tujuan itu, R20 memobilisasi para pemimpin agama, sosial, ekonomi, dan politik dari seluruh dunia untuk memastikan bahwa agama berfungsi sebagai sumber solusi yang hakiki dan dinamis, bukan sebagai sumber masalah. (idntimes.com, 03 november 2022)
 
Namun, argumen yang menitikberatkan pada solusi agama ini mengidentifikasi masalah dengan memandang agama sebagai salah satu akar persoalan global, di antaranya politik identitas dan kekerasan berbasis ekstrimisme agama. Solusi yang menjadi pusat perbincangan R20 adalah mempromosikan moderatisme beragama. 
 
 
 
Sayangnya, ada yang patut dipertanyakan dengan kemegahan forum R20. Dari sekian banyak daftar kelompok undangan yang hadir, tidak ada yang tampak mewakili tokoh agama dari kaum tertindas atau pegiat kelompok agama yang selama ini di garda depan merespon penindasan geopolitik global. Tidak ada misalnya kehadiran Majelis Ulama Rohingya yang melakukan kerja-kerja sosial kepada pengungsi Rohingya di Malaysia, atau National Council of Churches yang memiliki jaringan komuni Kristen di berbagai negara dan aktif dalam kegiatan lintas iman sejak tahun 1950-an, serta aktif memperjuangkan hak kaum migran, pengungsi, kelompok miskin, dan buruh yang dipersekusi atau dieksploitasi. Perwakilan dari mereka tidak saja akan mewarnai ruang demokratis dari konferensi internasional semacam R20, namun mendekatkan tema besar R20 dengan pengalaman riil dari mereka yang bergelut langsung dengan rakyat korban ketidakadilan global. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah justru hadirnya kelompok agama ekstrimis sayap kanan India seperti Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). RSS memiliki sejarah anti-Islam dan anti-Kristen termasuk menghancurkan masjid, membunuh ribuan Muslim sejak tahun 1980-an dan menjadi bagian dari Bharatiya Janata Party (BJP), partai Hindu nasionalis dari Perdana Menteri India saat ini, Narendra Modi.
 
 
Tren moderatisme agama yang belakangan menyedot antusias umat beragama tampak kembali menjadi pemikat bagi para elit politik. Jargon-jargon seperti toleransi, perdamaian, pluralisme yang digaungkan oleh penguasa seakan membawa angin segar bagi krisis multidimensi yang membuat rakyat semakin terpuruk. Kecenderungan untuk begitu saja menerima rentetan jargon tersebut luput untuk mempertanyakan motif ekonomi politik dan ideologis di balik jubah moderatisme agama. Istilah ‘Islam moderat’ tampak sejalan dengan konsep ummat (Islam) wasathiyah atau umat pertengahan yang disebut dalam al-Qur’an sebagai umat yang berimbang dan tidak melampaui batas. Namun, istilah moderat ini dalam persentuhannya dengan ekonomi politik global melipir dari makna berimbang yang adil. Islam moderat menjadi narasi yang sejalan dengan proyek deradikalisasi. Secara sistematis menyasar dan mempenetrasi umat Islam untuk mengkonstruksi identitas baru soal mana “Muslim yang baik” dan “Muslim yang buruk”. Muslim yang baik adalah “moderat, toleran, pluralis” di hadapan kapitalisme dan liberalisme, dan Muslim yang buruk adalah apapun di luar itu. 
 
 
Proyek moderatisme agama inilah pada akhirnya secara politis justru mengekang metode perlawanan rakyat terhadap penindasan. Padahal sejatinya Islam tidak mengajarkan untuk beramah-tamah kepada para penindas, justru sebaliknya, Islam mendorong muslim aktif menyuarakan perlawanan. Mengutip Abu Zahrah, bahwa Islam adalah agama samawi yang tidak mungkin diam atas kezaliman orang-orang kuat terhadap mereka yang lemah. 
 
 
Dengan demikian moderasi agama sangat berbahaya karena bisa menimbulkan perpecahan, seolah hanya ingin membagi manusia menjadi dua kubu yaitu bersama moderat atau radikal. Untuk itu, akidah muslim bisa terkikis oleh ide kafir Barat yang dibungkus di bawah jargon menghormati perbedaan dan memoderasikan pengmalan beragama. Dalam Islam tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan syariat Allah SWT. 
Seperti dalam firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah: 208).
 
 
Sangat jelas sistem kehidupan berlandaskan Islam memberikan petunjuk hidup terbaik, menjadi solusi bagi setiap problem hidup umat Islam. Karena itu, umat Islam tidak perlu adanya moderasi beragama. Sebab, Islam sudah sempurna. Maka tak ada kewajiban bagi manusia untuk merubah syariat-Nya termasuk moderasi beragama. 
 
Wallahu’alam bishowab
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak