Oleh : Ade Irma (Pemerhati Umat)
Dan terjadi lagi, kebijakan yang dilakukan pemerintah menuai pro dan kontra. Bagaimana tidak ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit pasca pandemi covid19 , kini harus dihadapkan dengan kebijakan yang seolah memaksa dan tentu menambah beban masyarakat.
Melansir dari Topswara.com -- Migrasi siaran televisi (TV) analog ke digital telah bergulir sejak tanggal 2 November 2022 pas bertepatan pukul 00.00 wib tengah malam dalam hitungan mundur yang disaksikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
Pemadaman TV analog baru mencakup wilayah Jabodetabek, Riau (Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Miranti), NTT (Kabupaten Timur Tengah Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka), dan Papua Barat (Kota dan Kabupaten Sorong).
Setelah resmi pemerintah mematikan siaran TV analog dan bermigrasi ke TV digital, pro kontra tetap bergulir. Pasalnya rakyat kecil lah yang terdampak imbasnya, terlebih di tengah tsunami kemiskinan yang masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.
Untuk bermigrasi ke TV digital masyarakat harus beralih dari TV Tabung ke TV digital dan STB ( Set Top Box). Walaupun di beberapa titik wilayah sudah ada posko di bagikan STB gratis. Namun sudah menjadi rahasia umum ketika ada bantuan acapkali tidak tepat sasaran dan tidak optimal. Tidak semua masyarakat bisa mendapatkan STB gratis, yang akhirnya mereka harus membelinya.
Diberbagai wilayah masyarakat berebut mencari STB dengan langsung mendatangi toko elektronik atau membeli di toko online. Tingginya peminat STB dimanfaatkan sejumlah oknum untuk menaikkan harga dan melakukan penipuan.
Alih-alih memberikan kemudahan justru menambah beban masyarakat dan memberikan masalah yang baru. Lalu siapakah yang diuntungkan dalam migrasi TV Digital ini?
Pihak pertama yang diuntungkan tentunya pemerintah.
Pemerintah berpotensi mendapatkan kenaikan pendapatan sebesar Rp 77 triliun per tahun jika migrasi ke TV digital terealisasikan. Karena pendapatan dari frekuensi TV analog saat ini hanya mendapatkan Rp100 miliar-an. Pendapatan ini berasal dari biaya penggunaan frekuensi atau disebut digital dividend yang disetorkan pelaku usaha digital yang memakainya.
Pihak kedua yang diuntungkan adalah pelaku bisnis digital yang mendapatkan saluran frekuensi 700 MHz untuk broadband. Pemanfaatan saluran frekuensi ini akan mengembangkan ekosistem bisnis kreatif, sehingga ekonominya akan membesar.
Hasil riset Boston Consulting, juga mengungkakan bahwa kontribusi migrasi ke digital terhadap PDB bisa mencapai Rp 443,8 triliun per tahun. Maka, semakin lama menunda, maka negara semakin merugi, karena potensi pendapatan dari sektor TV digital tidak terpenuhi.
Lalu bagaimana Islam memandangnya?
Televisi merupakan sarana hiburan dan media informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Media massa (wasa’il al i’lam) dalam Islam sepenuhnya dikendalikan oleh seorang Khalifah, yang mana seorang Khalifah mengawasi berita aktual yang disampaikan kepada masyarakat melalui orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Media massa bagi negara Khilafah dan pentingnya dakwah Islam mempunyai fungsi strategis yaitu melayani ideologi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Jadi, media bukan hanya sebatas hiburan apalagi sampai melenakan dan menghabiskan waktu sepanjang hari dengan menonton satu acara ke acara lain. Apalagi acara-acara yang dipertontonkan banyak mudharatnya.
Islam pun menjamin kemudahan dan kebutuhan media massa untuk masyarakat. Negara Islam pun tidak mengambil kesempatan untuk meraup keuntungan dari media massa, seperti yang terjadi saat ini.
Oleh karena itu, media massa dalam Islam akan mampu mewujudkan masyarakat cerdas karena memiliki tuntunan yang jelas dalam semua urusan hidupnya.
Wallahu A'lam Bishawab
Tags
kolom opini